Jakarta, AP – Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah ingin Ketua KPK Agus Rahardjo mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari konflik kepentingan dalam menuntaskan kasus dugaan korupsi proyek KTP Elektronik.
“Posisi dia (Agus) ketika awal proyek KTP-E adalah Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang-Jasa Pemerintah dan saat ini Ketua KPK sehingga ada ‘konflik kepentingan’,” kata Fahri.
Dia mengatakan meskipun belum secara jelas keterlibatan Agus dalam kasus KTP-E, persoalan etik yaitu yang bersangkutan mengetahui proyek tersebut dan sekarang menangani kasus dugaan korupsinya.
Karena itu, dia menilai agar tidak menjadi konflik kepentingan lanjutan maka lebih baik Agus mengundurkan diri dari jabatannya di KPK dan biarkan kasus itu berjalan tanpa intervensi.
“Yang lebih ‘serem’ lagi, dia (Agus diduga) terlibat lobi terhadap suatu konsorsium BUMN. Soal etika saja, saudara Agus mengerti kasus ini sejak awal dan masalahnya dia juga terlibat dalam mengawasi kasus ini,” ujarnya.
Fahri menilai dalam dakwaan kasus KTP-E sangat tendensius untuk menutupi peran dan keterlibatan orang-orang tertentu namun ada orang tidak penting disebut dalam kasus itu.
Pola menutupi itu menurut dia, seperti kasus bank century yaitu ada aliran dana yang ditransfer pada dini hari, mencairkannya pada dini hari namun yang menjadi narapidana hanya Budi Mulya (pimpinan BI).
“Ada pejabat yang bisa kita temukan mengalihkan status dari permainan ini dengan maksud yang kita tidak tahu. KTP-E yang harusnya selesai Desember 2012 tidak bs dipakai untuk Pemilu 2014, bahkan saya sekarang tidak yakin apakah sudah siap dipakai untu Pemilu 2019,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Ketua KPK Agus Rahardjo menegaskan tidak terlibat konflik kepentingan (conflict of interest) dalam proyek KTP-E seperti yang dituduhkan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
“Saya tidak mau berpolemik di media massa seperti ini, kita buktikan saja di pengadilan. Kita buktikan janji saya bahwa semua itu semua tidak terjadi, ‘conflict of interest’ tidak terjadi, saya tidak pernah melobi orang, saya tidak pernah menjatuhkan orang, itu semua tidak terjadi, yakinkanlah itu,” kata Agus, Rabu (15/03).
Lebih tegas Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, “Kalau saya perlu dipanggil di pengadilan saya siap memberikan kesaksian itu dan kemudian saya juga pesan begini, setiap kali ada tersangka kasus korupsi juga kok dibela? Itu juga tidak tepat, mari kita bangsa bersama-sama agar korupsi harus dihilangkan dari negara kita. Langkah-langkah KPK jangan kemudian dihalangi seperti itu,” tegas Agus.
Ia kembali mengatakan bahwa KPK masih membuka kemungkinan tersangka baru dalam kasus tersebut.
“Untuk tersangka baru kita masih menunggu gelar (perkara). Saya dan pimpinan lain ingin agar kasus ini tuntas. Sejak awal saya sampaikan ini bukan lari jangka pendek tapi marathon, Insya Allah kalau Tuhan memberikan izin, Tuhan memberikan petunjuk, kita akan menuntaskan kasus ini dengan cepat seperti yang diharapkan,” tambah Agus.
Dalam kasus ini, baru ada dua orang terdakwa yang dihadapkan ke muka persidangan yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto.
Anggaran KTP-E bernilai total Rp5,92 triliun dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp2,314 triliun.
KPK menegaskan tidak ada intervensi pimpinan KPK dalam penyidikan dan penuntutkan kasus dugaan korupsi KTP-E tersebut. “Kalau (disebut-sebut) ada intervensi tidak akan bisa dimungkinkan. Pimpinan sekarang terpilih akhir 2015, sedangkan penyidikan sejak 2014, penyelidikan sudah sejak sebelumnya. Jadi terlalu jauh kalau dihubungkan dengan personal pimpinan KPK,” kata Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah.
“Terkait posisi ketua KPK sebelumnya, dalam dakwaan kita sudah sebutkan terkait paket pengadaan, 9 paket oleh LKPP disarankan agar dipecah karena berpotensi korupsi dan agar tidak memonopoli. Saran LKPP saat itu bukan saran individu tapi ini saran kelembagaan. Artinya LKPP sudah memberikan kajian dan hasilnya untuk mencegah tindak pidana korupsi yang tidak ditaati Kemendagri,” jelas Febri.
Apalagi menurut Febri, penyidikan KPK dimulai dari bawah yaitu para penyelidik dan penyidik dengan mengumpulkan bukti-bukti sehingga pimpian tidak ada yang bisa pengaruhi keputusan pimpinan lain.
Sementara terkait usulan hak angket yang digulirkan oleh Fahri, Febri mengaku bahwa KPK tidak bisa melarang DPR untuk menjalankan kewenangannya sesuai UU.
“Hak angket itu bukan domain KPK. Namun begitu, kami juga dengar bawah sejumlah anggota DPR juga menghargai proses hukum sesuai dengan supremasi hukum sehingga proses-proses politik yang bisa menggangu penanganan kasus KTP-E tidak dilakukan. Presiden sudah mendukung KPK tuntaskan KTP-E, ketua MPR juga demikian, dan kemudian sejumlah petinggi parpol mendukung KPK untuk penuntasan kasus ini,” ungkap Febri.
KPK pun tidak gentar dengan ancaman hak angket yang rencananya akan diajukan oleh sejumlah pihak di DPR tersebut.
“Jadi kami berharap semua pihak mendukung penuntasan kasus KTP-E ini karena bukan hanya untuk keperluan KPK, tapi demi kepentingan masyarakat secara luas. Kami meminta pengawalan dari publik untuk penuntasan kasus ini karena berdasarkan pengalaman sebelumnya ketika KPK menangani perkara besar, KPK selalu mendapatkan perlawanan untuk melemahkan,” jelas Febri.
Dalam kasus ini, baru ada dua orang terdakwa yang dihadapkan ke muka persidangan yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto. ant