Jambi, AP- Perdagangan manusia merupakan salah satu kejahatan HAM paling berat di dunia. Terlebih lagi telah ditemukan fakta, komplotan human trafficking ternyata lebih banyak melakukan bisnis haram mereka kepada anak-anak dan perempuan. Persepsi penanggulangan yang seiring dan sejalan dari seluruh pemerintah negara di dunia ini, tentunya menjadi keharusan. Salah satunya adalah dengan sama-sama meratifikasi regulasi anti perdagangan manusia, khususnya di kawasan ASEAN.
Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri menyampaikan hal itu dalam Konvensi ASEAN yang membahas perdagangan terhadap Perempuan dan Anak-anak dalam Asean Regional Forum (ARF) Workshop on Trafficking In Person (TIP) di Semarang, Selasa (04/04).
“Sudah ada Cambodia, Singapore, Thailand, Viet Nam Myanmar dan Phillipine yang merupakan negara dengan respon cepat, langsung meratifikasi regulasi ini di negara mereka. Sisanya memang masih dalam proses pembahasan akhir. Bagi Indonesia tentunya menjadi penting menyampaikan bagaimana penyelesaian akar permasalahan dari kasus-kasus yang terjadi juga di sini, sekaligus pada saat yang sama, memperhatikan penghormatan kepada hak asasi manusia,” kata Ari.
Berdasarkan data yang dimiliki pada 2017 ini sudah terjadi 30 juta kasus perdagangan manusia di dunia. Artinya, dari setiap 280 manusia di dunia ini, 1 orangnya telah menjadi korban perdagangan manusia. Lalu dari jumlah 30 juta kasus itu, jika diklasterkan lagi, ada 600.000 sampai 800.000 laki-laki, perempuan dan anak-anak yang menjadi korban perdagangan manusia yang setiap hari melintas di seluruh perbatasan negara di dunia setiap tahunnya. Dari jumlah itu, 80% korbannya berjenis kelamin perempuan yang kemudian terjebak dalam industri eksplotasi seksual. Ironisnya, dari angka 80% itu, sebanyak 50% korbannya merupakan anak perempuan.
Di tanah air, tambah Ari, kasus-kasus perdagangan orang yang melibatkan warga negara Indonesia sebagai korbannya karena berbagai macam faktor penyebab.
“Ada banyak faktor penyebab sehingga perdagangan manusia di Asia Tenggara menjadi marak. Mulai dari kemiskinan yang terstruktur, mandeknya pertumbuhan ekonomi sosial di negara Asia Tenggara itu, serta mudahnya masyarakat terayu oleh iming-iming mendapatkan gaji tinggi di luar negeri. Ini yang menjadi perhatian Indonesia untuk pembenahan,” ujar Ari.
Forum ARF kali ini dihadiri juga oleh Direktur Kerjasama Politik dan Keamanan ASEAN Kementerian Luar Negeri Indonesia, M. Chandra W. Yudha; Koordinator Anti Trafficking Uni Eropa, Dr. Myria Vassiliadou; Perwakilan UNODC, Collie Brown; Perwakilan Kepolisian Eropa untuk IGCI, Benoit Godart; Direktur HAM dan Hubungan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Indonesia, Dicky Komar dan para perwakilan serta seluruh peserta dari negara ASEAN. Forum ARF ini terselenggara atas co-host dari Kementerian Luar Negeri RI dan Uni Eropa.(mas/Mjd)