Pengamat kelautan dan perikanan Abdul Halim menginginkan pemerintah dapat mempercepat pelaksanaan penyaluran asuransi bagi nelayan karena hingga kini baru sekitar 55 persen nelayan kecil yang telah menerimanya.
“Hanya 55,4 persen nelayan kecil yang telah menerima asuransi pada tahun 2016-2017,” kata Abdul Halim di Jakarta, Selasa (10/10).
Abdul Halim mengingatkan UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, memiliki salah satu amanah yaitu memastikan perlindungan risiko penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, dan usaha pergaraman bagi nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam.
Dia memaparkan, mengacu pada Pasal 30 ayat (6) UU No 7/2016, perlindungan atas risiko penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, dan usaha pergaraman diberikan dalam bentuk asuransi perikanan atau asuransi pergaraman untuk kecelakaan kerja dan asuransi jiwa untuk kehilangan jiwa.
“Penyaluran jaminan risiko atas penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, dan usaha pergaraman oleh pemerintah dan pemerintah daerah belum berjalan sebagaimana mestinya,” kata Abdul Halim yang menjabat Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanities.
Padahal, lanjutnya, di tengah pelbagai ancaman ketidakpastian usaha, asuransi jiwa dan asuransi perikanan dinilai bisa menjadi jaminan atas risiko usaha yang tengah dijalankan.
Sebagaimana diwartakan, program asuransi nelayan merupakan elemen penting yang dimiliki pemerintah dalam rangka menjaga dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan anggota keluarga mereka sehingga nelayan perlu untuk segera mengurusnya.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan salah satu cara yang dilakukan pemerintah dengan memberikan asuransi nelayan agar nelayan mendapatkan jaminan keselamatan dalam menjalankan profesinya.
“Saya bertemu nelayan, saya bilang, kalau belum punya asuransi, diurus segera,” katanya dan menambahkan, nelayan juga harus berupaya pula untuk menjaga kelestarian laut Nusantara. ant