Jambi, AP – Berbeda dengan istri-istri tentara atau biasa disebut ibu persit pada umumnya, salah seorang ibu persit di Jambi justru meluangkan waktunya untuk menjadi guru Suku Anak Dalam (SAD).
Dialah Suryani yang satu-satunya tenaga pendidik anak rimba dari ibu persit dan yang ada di Jambi saat ini. Padahal, dia merupakan guru SDN 191/VII, Pematangkabau 2, Kabupaten Sarolangun, Jambi.
Ditemui di lokasinya, istri dari Babinsa Serda Husni Thamrin menceritakan pengalamannya selama sekitar 19 tahun mengajar anak rimba di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas.
Diakui Suryani, awalnya tidak ada keinginan untuk mengajari warga SAD untuk belajar menulis, membaca dan berhitung.
“Karena saat itu dianggap menjijikkan dan menakutkan. Bahkan, ingin meninggalkan mereka,” ujarnya.
Seiring waktu, suatu ketika dia dan keluarganya mendadak didatangi warga rimba. Mereka bermaksud mengantarkan sejumlah buah durian ke rumahnya.
Dalam tatapan mata warga SAD tersebut, Suryani melihat tatapan sesuatu yang dibutuhkan. “Firasat saya saat itu, mereka bisa belajar untuk mengetahui dunia luar,” tuturnya.
Akhirnya, atas persetujuan dan ridho dari suaminya, ibu dari dua putra ini termotivasi untuk mengajak dan mendidik warga SAD. “Minimal mereka bisa baca, tulis dan berhitung agar tidak dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab,” tegas Suryani.
Padahal, sambungnya, untuk membina mereka tidaklah mudah membalikkan telapak tangan. “Siapa pun yang ditugaskan membina mereka tidak ada yang mampu dengan segala alasan,”
“Alhamdulillah sedikit demi sedikit, sejak tahun 1999 lalu, anak didiknya bernama Budi sudah menjadi anggota TNI aktif dan sekarang berdinas di Batalyon Infanteri Rider 142/Ksatria Jaya di Kasang, Kota Jambi,” imbuhnya.
Dari situ, Suryani berharap, warga SAD lainnya bisa mengikuti jejak budi atau lebih baik lagi dari Budi.
“Saya menginginkan Budi-Budi lain dari komunitasnya untuk membawa nama harum SAD. Selain itu, bisa menjadi motivasi atau contoh bagi SAD lainnya sehinga sepadan dengan orang luar pada umumnya,” harapnya lagi.
Untuk mengajar warga SAD tersebut, tidaklah mudah seperti yang dibayangkan orang. Penuh kendala dan kesabaran yang cukup.
Diantara kendala yang dihadapi Suryani, seperti kondisi jalan yang buruk, becek bila turun hujan. Belum lagi orang tua mereka yang mempunyai tradisi berpindah-pindah atau nomaden.
“Tradisi lainnya, yakni melangun (ada keluarga meninggal dunia mereka akan mencari tempat baru lagi untuk dijadikan tempat tinggal). Jadi menunggu sampai mereka kembali lagi setelah berbulan-bulan rasa sedihnya hilang,” papar Suryani.
Beruntung, dirinya bisa membagi waktu antara guru SD dan mengajar di lokasi SAD. Meski harus ditempuh sekitar enam jam, namun jarak yang jauh terasa dekat setelah diantar suaminya.
Dengan menggunakan motor babinsa, jalan yang berliku, menurun dan mendaki dan menyeberangi sungai tidak membuka kedua pasangan suami istri ini putus asa.
Baginya, berbagi ilmu dan membuat orang pintar adalah suatu ibadah di mata Allah. “Mengajar diusahakan dua kali dalam satu minggu, mengingat tugas pokok sebagai guru di SD. Di SD, sudah ada 30 SAD yang menjadi muridnya,” tukasnya.
Menurut Suryani, mengajar warga SAD, termasuk tanggungjawab moril untuk mencerdaskan anak bangsa. “Bila belum mengenal mereka, temperatur mereka terlihat keras, tapi bila sudah bergaul bersamanya mereka tergolong lembut dan pemalu,” ujarnya.
Diakuinya lagi, untuk mengajak mereka belajar dibutuhkan kesabaran bukan emosi. “Kuncinya, mereka dijadikan teman bukan dijadikan murid sehingga mereka nyaman dalam belajar. Rangkul mereka. Bagaimana pun pendidikan juga penting untuk kehidupan mereka,” tegas Suryani. (bdh)