Sarolangun, AP – Pembangunan Bendung Batang Asai di Desa Kampung Tujuh Kecamatan Cermin Nan Gedang (CNG), Kabupaten Sarolangun ternyata masih terus memunculkan polemik di tengah masyarakat.
Meski proses pembangunan bendung telah berjalan, namun permasalahan masih terus bermunculan. Terbaru adalah polemik pembebasan lahan untuk jaringan irigasi primer yang akan melintasi sejumlah desa yang ada di Kecamatan CNG, seperti Desa Pemuncak, Teluk Tigo, Teluk Rendah dan Lubuk Resam.
Sebagian warga menilai proses pembebasan lahan terkesan tidak transparan dan harga yang ditawarkan juga tidak sesuai dengan harapan. Hidayat warga Desa Pemuncak yang lahannya terkena saluran irigasi kepada harian ini kemarin (28/2) mengatakan, masyarakat sangat mendukung pembangunan Bendung Batang Asai asal dijalankan berdasarkan prinsip keadilan.
‘’Kita tidak ingin menghalang-halangi, kita sangat mendukung, tapi yang kita sayangkan proses pembebasan lahan belum transparan dan tidak mengedepankan prinsip keadilan,’’ katanya kepada sejumlah wartawan.
Hidayat menceritakan kronologis pembangunan bendung Batang Asai tersebut. Menurutnya, rencana pertama bendung tersebut dilakukan di Desa Teluk Tigo, namun masyarakat menolak. Karena ditolak dipindahkan ke Desa Pemuncak. Saat itu pemilik lahan lokasi pembangunan bendung bersedia menyerahkan tanahnya untuk lokasi pembangunan bendung dan terjadilah negoisasi pembebasan lahan yang melibatkan tim appraisal (tim independen, red). Setelah soal harga tanah disepakati, ada sejumlah warga yang tidak memiliki lahan menolak dan melaksanakan unjukrasa. Karena penolakan tersebut pembangunan bendung dipindah ke Desa Kampung Tujuh.
‘’Saat itu pada tahun 2014, tim appraisal membagi tanah untuk pembangunan bendung sebanyak tiga zona, zona pertama dihargai Rp 96 ribu permeter, zona dua dihargai Rp 69 ribu permeter dan zona ke tiga dihargai Rp 67 ribu permeter,’’ kata Hidayat.
Anehnya kata Hidayat, disaat akan dilakukan pembebasan lahan untuk jaringan primer, ternyata harga yang ditawarkan sangat jauh dari harga yang ditetapkan tim appraisal pada tahun 2014 lalu. ‘’Harganya jauh turun, padahal logikanya harga tanah naik setiap tahun,’’ ucapnya.
Yang lebih aneh lagi kata Hidayat, tim yang akan melakukan pembebasan lahan tidak menyampaikan secara terbuka berapa harga tanah permeter. ‘’Saat sosialisasi pada 22 Februari yang lalu, tim tersebut hanya menyampaikan harga secara global tidak menerangkan harga permeter, artinya harga disamarkan atau tidak ada transparansi,’’ katanya.
Karena curiga, Hidayat mencoba mengkalkulasikan harga yang ditawarkan secara global tersebut dengan luas lahan yang terpakai untuk saluran irigasi.
‘’Ternyata tanah saya hanya dihargai Rp 38 ribu permeter, padahal tim appraisal tahun 2014 yang lalu telah menetapkan tanah saya tersebut masuk dalam zona 2 dengan harga Rp 69 ribu permeter. Kok harga tanah saya tambah murah, seharusnya tambah mahal karena dihitung tim appraisal beberapa tahun yang lalu,’’ jelasnya.
Bukan hanya itu, kejanggalan lain menurutnya, harga tanah di lokasi yang sama juga berbeda.
‘’Tanah saya dihargai Rp 38 ribu permeter, tapi ada tanah orang lain di lokasi yang sama dihargai Rp 41 ribu permeter, kan aneh itu,’’ ucap Hidayat sambil mengerutkan dahi.
‘’Kita tidak ada rasa iri, tapi kita hanya ingin keadilan,’’ tambahnya.
Diterangkan Hidayat, soal harga tersebut bukan hanya dirinya yang tidak menerima, tapi ada 9 pemilik tanah yang lain di Desa Kampung Tujuh yang menolak harga tersebut. Hidayat memprediksi di desa lain juga akan terjadi perdebatan soal harga tersebut.
‘’Sekali lagi kita sangat mendukung pembangunan, tapi kita masyarakat juga ingin keadilan. Yang terjadi saat ini tidak ada negoisasi harga, malah terkesan masyarakat dijebak dengan ucapan kalau tidak menerima silahkan berurusan ke pengadilan. Kalau masyarakat awam mendengar kata Pengadilan langsung ketakutan,’’ tandasnya.
Hidayat berharap, tim pembebasan lahan bisa memberikan tranparansi dan keadilan. Sehingga harga tanah yang ditetapkan mengikuti ketetapan tim appraisal pada tahun 2014 yang lalu.luk