Jakarta, AP – Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto tidak menyetujui adanya penggabungan seluruh lembaga seperti yang berkaitan dengan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan dan pengkajian dan penerapan teknologi menjadi satu dalam badan riset nasional.
“Tidaklah tepat bila LIPI sebagai lembaga penelitian sains digabung dengan BPPT sebagai lembaga pengkajian dan penerapan teknologi. Kedua-duanya diperlukan oleh negara ini tetapi bukan berarti kemudian harus digabung menjadi satu Badan Riset karena DNA atau karakteristik keduanya berbeda,” kata Unggul di Kantor BPPT, Jakarta, Rabu, (12/9).
Unggul mengatakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan BPPT tidak dapat disatukan karena berbeda karakteristik seperti bidang dan target yang dikerjakan dan dicapai.
Dia menuturkan LIPI lebih banyak melakukan penelitian sains untuk menghasilkan penemuan baru atau invensi untuk menjadi inovasi.
Sementara BPPT menghasilkan inovasi yang merupakan produk baru lebih banyak melalui proses rancang bangun atau perekayasaan (“reverse engineering”) tanpa melalui tahapan invensi.
Oleh karena itu, menurut Unggul, di Indonesia, instansi pembina jabatan fungsional peneliti adalah LIPI, sedangkan instansi pembina jabatan fungsional perekayasa (“engineering”) adalah BPPT, sehingga tidak tepat jika disatukan.
Dia memahami maksud dari pembentukan badan riset nasional untuk efisiensi anggaran, namun efisiensi anggaran tidak bisa semata-mata menjadi pertimbangan. “Efisiensi anggaran bukan hanya satu-satunya pertimbangan,” tuturnya.
Banyak pertimbangan lain yang harus diperhatikan salah satunya kompetensi dan sumber daya manusia.
“Yang jelas membuat satu lembaga riset lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi itu kan mesti melihat itu kompetensi khususnya itu gimana,” ujarnya.
Unggul menuturkan butuh waktu dan perjalanan yang cukup panjang untuk membuat LIPI dan BPPT masing-masing untuk dapat berkembang hingga seperti sekarang ini. “Karena buat LIPI tidak gampang, butuh 50 tahun, dan BPPT butuh 40 tahun,” ujarnya.
Unggul mengatakan jika disatukan menjadi badan riset nasional, maka kerugian mendatang akan timbul antara lain hasil menjadi tidak tajam karena pada awalnya masing-masing lembaga memiliki ranah atau bidang kerja dan target masing-masing.
Seperti halnya jika dipimpin seorang kepala ilmu dasar maka dituntut membuat penemuan dan jurnal penelitian, sementara kalau kepala dari pengkajian dan penerapan teknologi maka akan lebih mendorong ke tujuan perekayasaan dan membuat inovasi yang tidak harus dari penelitian dasar. Tentu ketika itu terjadi, maka akan pencapaian ke depan.
Kemudian, Unggul melanjutkan dengan penyesuaian budaya kerja yang membutuhkan waktu yang tidak singkat, belum lagi kompetensi harus disesuaikan. “Kalau merger untuk budaya kerjanya saja butuh waktu lama bisa 10 tahun,” tuturnya.
Dia memberikan masukan, jika harus terpaksa, mungkin bisa membuat semacam asosiasi tapi bukan merger atau penggabungan.
Jika ingin melakukan klasterisasi, maka minimal harus ada dua asosiasi, yakni yang satu terkait riset yang bisa bergabung dengan LIPI, yang kedua terkait inovasi dan rekayasa bisa digabungkan dengan BPPT.
Klasterisasi akan mempermudah komunikasi dan koordinasi untuk menjembatani inovasi dengan industri, sehingga mengakomodasi dengan lebih baik tentang apa yang dibutuhkan dunia industri.
Unggul mengatakan di dunia ini, belum ada satu pun negara yang menggabungkan seluruh lembaga menjadi satu seperti badan riset nasioanl yang menjadi wacana saat ini.
“Kalau dilebur tidak baik yang bagus seperti di Jerman diklasterisasikan dan minimal dua klaster, yakni paling hulu dan hilir. Kalau satu, di dunia tidak ada,” tuturnya.
Dia mengatakan Jerman sendiri punya sejumlah lembaga bukan menggabungkan menjadi satu semacam badan riset nasional.
Begitu juga dengan negara-negara di ASEAN yang tidak hanya memiliki satu lembaga tapi beberapa lembaga. ant