Jakarta, AP – Sebanyak 164 seismograph milik Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tersebar di seluruh wilayah untuk memantau gempa bumi di Indonesia.
“Kita memiliki sistem peringatan dini tsunami terdiri dari alat sensor gempa bumi, di bawah BMKG kita pasang beberapa seismograph, akselerograph untuk memantau aktivitas gempa bumi,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Tiar Prasetya di Jakarta, Rabu (03/10).
Sebanyak 164 sensor tersebut terdiri dari 109 stasiun yang dipasang BMKG, 17 stasiun bantuan Jepang, 21 stasiun bantuan Jerman, 11 bantuan China dan 6 sensor pendeteksi nuklir.
Dia mengatakan, dari 164 stasiun sensor tersebut 80 persen berfungsi dengan baik dan selebihnya perlu pemeliharaan dan ada yang rusak.
“Tapi tidak mengganggu pemantauan aktivitas gempa karena meski satu sensor tidak berfungsi masih bisa dipantau oleh sensor lainnya disekitarnya,” katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, saat ini akan ada 20 sensor tambahan bantuan dari Jepang yang akan dipasang.
Selain sensor berupa seismograph dan akselerograph, sistem peringatan dini tsunami juga didukung bouy yang dipasang di laut lepas yang dikelola oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Serta ada juga alat yang dipasang untuk memantau pasang surut air laut yaitu “tide gauge” yang dipasang di beberapa pelabuhan dan pesisir pantai dikelola oleh Badan Informasi Geospasial (BIG).
“Saat terjadi gempa maka alat seismograph akan mencatat kemudian akan mencari posisi sumber gempa, kalau gempa besar dan di laut dan kita menyatakan berpotensi tsunami pada saat gelombang tsunami dari tengah laut mulai terbentuk akan terdeteksi oleh bouy,” katanya.
Bouy mendeteksi perubahan tekanan muka laut, pada saat tekanan berubah karena gelombang tsunami terbentuk bouy akan mengirimkan sinyal sampai ke BPPT dan disebarkan ke BMKG.
Namun, menurut Tiar, sistem peringatan dini tsunami tidak sepenuhnya bergantung pada bouy, karena bouy hanya mendeteksi peningkatan muka air laut di samudera, apalagi alat tersebut saat ini dalam kondisi rusak.
“Tanpa bouy sistem peringatan dini tsunami juga tetap jalan,” katanya seraya menambahkan di Jepang sendiri memiliki ribuan seismograph sehingga idealnya Indonesia dengan wilayah yang lebih luas punya lebih banyak seismograph.
Sebelumnya Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Penanggulangan Nasional (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, menyebut pendeteksi tsunami yang disebut buoy itu rusak karena vandalisme dan hilang dicuri sejak 2012.
Alat yang disebut Sutopo tersebut adalah Deep-Ocean Tsunami Detection Buoys. Perangkat ini digunakan untuk mendeteksi perubahan permukaan air laut.
Indonesia tadinya memiliki 21 buoy. Sebanyak 10 unit pendeteksi itu diberikan pemerintah Jerman senilai sekitar Rp610 miliar.
Sementara itu, tiga buoy lainnya didapat Indonesia dari Amerika Serikat dalam sistem Deep Ocean Assessment and Reporting Tsunamis (DART).
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan seluruh alat deteksi tsunami tersebut kini tak lagi berfungsi. Anggaran yang terbatas diklaim sebagai salah satu pemicu persoalan itu.
Ketiadaan buoy mengharuskan BMKG memprediksi potensi tsunami pasca gempa berdasarkan metode pemodelan. Artinya, perkiraan tsunami itu dihitung dalam perangkat lunak, berdasarkan pusat kedalaman dan magnitude gempa.
Gempa berkekuatan 7,4 skala Richter mengguncang Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9) sore. Gempa tersebut mengakibatkan sedikitnya korban tewas 1.407 jiwa. ant