Muarasabak, AP – Masyarakat Desa Pematang Rahim, Kecamatan Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjungjabung Timur (Tanjabtim), belum menerima dan masih menunggu SK Hak Kelola Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh yang sudah diajukan sejak Januari 2017 lalu.
“Masyarakat sudah menyusun rencana pengelolaan Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh dan telah menyediakan perangkat untuk mendukung pemanfaatan kawasan hutan tersebut namun sampai saat ini SK hak kelola belum turun dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” kata Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa Pematang Rahim, Suryani, Sabtu (20/10) lalu.
Kemudian masyarakat setempat juga sudah membentuk Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHN) yang bertanggung jawab mengelola kawasan dan Masyarakat Peduli Api (MPA) untuk patroli yang akan mengendalikan kebakaran pada kawasan yang berada di lahan gambut itu.
Masyarakat bersemangat untuk menyusun konsep ekowisata dalam kawasan hutan desa, dengan berbagai ide untuk mengembangkan wisata gambut di daerah yang bisa dijangkau dengan waktu dua jam perjalanan dari Kota Jambi.
Namun ide untuk segera menerapkan pengelolaan hutan desa itu tidak kunjung terlaksana karena hak pengelolaan hutan desa yang sudah diusulkan masyarakat pada Januari 2017 lalu itu tidak kunjung turun dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kata Suryani.
Pada awalnya pengajuan KLHK cukup responsif dengan usulan masyarakat, ditandai dengan adanya tim verifikasi dari kementerian yang turun pada Juni 2017.
Tim verifikasi telah menyatakan bahwa seluruh permohonan dapat diterima karena seluruh areal yang dimohon berada dalam Peta Indikatif Arahan Perhutanan Sosial (PIAPS) dan Lembaga Pengelola Hutan Desa dan masyarakat juga telah memenuhi persyaratan lainnya.
“Namun hingga kini SK belum terbit, kami bingung perencanaan yang disusun tidak bisa dilaksanakan karena kami belum diberikan hak untuk mengelola kawasan itu,” jelas Suryani.
Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh yang berada di desanya itu, diajukan untuk dikelola dengan skema Hutan Desa seluas lebih kurang 1.185 hektare.
Padahal kata Suryani, dua desa tetangganya yaitu Sinar Wajo dan Sungai Beras sudah sejak 2014 lalu telah mendapatkan hak kelola hutan desa di hamparan yang sama dengan usulan Desa Pematang Rahim.
Sementara itu, Wakil Direktur Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Adi Junedi menyayangkan lambatnya respons kementerian menyikapi usulan masyarakat Pematang rahim. Pihaknya sudah mencoba melakukan penelusuran ke KLHK terkait lambatnya perizinan Pematang Rahim.
Ada tumpang tindih antara Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) dengan Peta Indikatif Arahan Perhutanan Sosial (PIAPS). Dalam PIPIB revisi XII yang telah diterbitkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 31 Juli 2017, sebagai tindak lanjut Inpres No 6 tahun 2017 tentang PIPIB kawasan gambut masuk dalam peta ini.
Di sisi lain, usulan Hutan Desa Pematang Rahim juga masuk dalam Peta Indikatif Arahan Perhutanan Sosial (PIAPS), baik versi lama maupun versi terbaru PIAPS Revisi I Nomor SK.4865/MENLHK-PKTL/REN/PLA.0/9/2017 yang diterbitkan pada tanggal 25 September 2017 yang menjadi acuan masyarakat untuk pengusulan kawasan.
“Jika masalah ini tidak segera ditangani maka akan menghambat pelaksanaan perhutanan sosial. Padahal perhutanan sosial merupakan program pemerintah pusat untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan hutan,” kata Adi Junedi.
Berdasarkan analisis yang dilakukan Warsi di Provinsi Jambi saja, terdapat 25 persen PIAPS akan teranulir oleh PIPIB.
Kawasan hutan dan gambut yang masuk ke dalam PIPIB seluas 1.060.224.06 hektare, sedangkan kawasan yang ditetapkan untuk perhutanan sosial dalam PIAPS seluas 229.321,64 hektare dan yang tumpang tindih PIPIB dengan PIAPS seluas 55.564,49 hektare.
Adi Junedi menambahkan, kawasan hutan gambut Desa Pematang Rahim menyimpan cadangan karbon yang sangat besar mencapai 76 ton per hektare pada tegakan pohon dan areal gambutnya 1.824 ton per hektare. (fni)