Sengeti, AP – Ratusan warga dari Desa Sogo dan Seponjen serta Kelurahan Tanjung, Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muarojambi masih menduduki dan menginap di atas lahan perkebunan PT Bukit Bintang Sawit (BBS) untuk menuntut penyelesaian konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan.
Hasil pantuan, Sabtu (16/02), ratusan warga Desa Sogo mendirikan tenda saat unjuk rasa di lahan perkebunan kelapa sawit PT Bukit Bintang Sawit (BBS), Kumpeh, Muarojambi, sejak Selasa lalu (12/2) sampai saat ini masih menginap dan tinggal ditenda-tenda yang mereka siapkan di atas lahan perkebunan sawit PT BBS.
Aksi tersebut, menyebabkan tertutupnya akses keluar masuk hasil panen kelapa sawit perusahaan tersebut terjadi dikarenakan belum selesainya persoalan sengketa lahan antara pihak perusahaan dan warga yang telah berlarut-larut sejak 12 tahun lalu.
Koordinator aksi, Antoni dalam siaran persnya, yang diterima menjelaskan pada 12 tahun silam, tepatnya pada 2007, PT BBS mendapatkan izin lokasi berdasarkan Surat Keputusan Nomor 507 Tahun 2007, tertanggal 27 September 2007 seluas 1.000 hektare di Desa Seponjen Kecamatan Kumpeh, Muarojambi, Jambi.
Kemudian PT BBS mendapatkan izin lokasi di Kelurahan Tanjung berdasarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 22 Tahun 2011 tertanggal 31 Januari 2011 seluas 1.000 ha berdasarkan SK Nomr 22 Tahun 2011.
Terhitung selama 12 tahun itu juga, persoalan konflik tanah yang muncul sampai saat ini belum terselesaikan. Masih ada 495 kepala keluarga yang kehilangan atas tanahnya seluas 1.373,4 hektare berasal dari Desa Seponjen, Dusun Pulao Tigo, Desa Sogo dan Kelurahan Tanjung yang sampai saat ini masih dalam penguasaan PT BBS.
Pada posisi konflik yang terjadi, sampai saat ini masih dalam proses pemantauan beberapa lembaga di level nasional, seperti Komnas HAM, Mabes Polri, BPN, Kementerian Kehutanan dan lingkungan Hidup serta WALHI Nasional.
“Sesuai arahan yang diberikan oleh lembaga nasional yang terlibat dalam proses pemantauan konflik tersebut, Pemerintah Daerah seperti Bupati Muarojambi dan instansi terkait lainnya, agar secepatnya menyelesaikan konflik ini dan tidak sampai berlarut-larut,” tutur Antoni.
Pada 2015, setelah dilakukan pendudukan aksi di DPRD Provinsi Jambi, Komisi III DPRD saat itu memastikan akan secepatnya membentuk tim pansus untuk mempercepat konflik yang ada. Namun, sampai saat ini tim pansus yang dijanjikan belum terealisasi.
Di tahun 20017, aksi dilakukan kembali oleh masyarakat dengan lokasi aksi berada sekitaran kebun PT BBS. Dari aksi yang dilakukan, kemudian muncul inisiatif Pemerintah Daerah Kabupaten Muarojambi untuk membentuk tim legal audit. Namun, sampai saat ini, hasil tim yang dilakukan tidak membuahkan hasil yang baik.
“Seiring bertambahnya waktu, kerugian masyarakat sampai tahun 2019 juga terus bertambah dan dari sekian banyak kerugian yang dialami masyarakat, dituangkan dalam tuntutan-tuntutan aksi,” ucap Antoni.
Tuntutan masyarakat Desa Sogo yakni menuntut kemitraan di atas lahan 797 hektare, luasan ini sesuai dengan ground cek BPN Kabupaten Muarojambi, dengan menggunakan dasar Peta SK Bupati Tahun 2018 dan izin PT BBS.
Kemudian PT BBS harus mengembalikan hasil selama masa produksi yang dalam hitungan masa panen mulai tahun 2013 2019. Selanjutnya permintaan masyarakat Sogo dengan pola kemitraan 30-70 dengan rincian 70 persen dilakukan tali asih berdasarkan NJOP dan 30 persen bermitra tanpa beban utang.
Sedangkan untuk tuntutan dari masyarakat Desa Seponjen yakni minta PT. BBS untuk mengembalikan lahan seluas 176,4 hektare kepada 28 KK. Untuk tuntutan masyarakat Dusun Pulau Tigo/Desa Sponjen yakni menuntut kepada PT BBS untuk mengembalikan lahan seluas 300 hektare kepada 42 KK.
Sementara itu untuk tuntutan masyarakat Kelurahan Tanjung yakni minta PT BBS untuk mengembalikan lahan seluas 100 hektare kepada 25 KK. Ims/ant