Jakarta, AP – Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang sedang digodok di DPR RI merupakan upaya yang baik guna mengatasi kekosongan regulasi aturan perundang-undangan saat ini.
“RUU EBT dirasa sangat penting karena terjadi kekosongan legislasi di atasnya. Indonesia sudah memiliki UU Kelistrikan, UU Migas, dan UU Panas Bumi, sehingga RUU EBT ini untuk melengkapi,” kata Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto dalam siaran pers, Senin, (18/02).
Untuk itu, ujar dia, berbagai pemangku kepentingan mulai dari DPR, pemerintah, pengusaha dan pengguna EBT harus mempunyai kemauan politik yang sama.
Apalagi, politisi Partai Demokrat itu mengingatkan bahwa saat ini pasokan listrik dalam negeri sebagian besar masih disuplai oleh sumber energi fosil.
Ia berpendapat bahwa salah satu hal yang akan menjadi perdebatan alot adalah terkait fiskal insentif karena pasti ada beragam permintaan yang masuk.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebut pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) masih sangat lambat meski Indonesia kaya akan potensi sumber daya EBT.
Sepanjang 2015-2018, penambahan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan hanya 882 mega watt (MW). Padahal, di era sebelumnya, yakni 2010-2014, kapasitas pembangkit EBT bisa mencapai 2.615,7 MW.
Kalau ini diteruskan sampai 2019, ia memperkirakan bahwa jumlah itu hanya bertambah 300 MW sehingga total kapasitas maksimum hanya 1.200 MW.
Dengan capaian porsi EBT dalam bauran energi yang saat ini baru 8 persen, pemanfaatan EBT masih disebut sangat lambat. Padahal sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) capaian saat ini seharusnya sudah mencapai 16 persen agar bisa mencapai target 23 persen pada 2025.
Rasio elektrifikasi pun ditaksir naik memenuhi target 96 persen pada akhir 2019. Namun regulasi yang ada justru dinilai menghambat perkembangan EBT.
Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyebutkan pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) membutuhkan modal sekitar 90 miliar dolar AS untuk bisa mencapai target 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025. ant