Jambi, AP — Asap tebal akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) kembali menyelimuti wilayah Kota Jambi pada Kamis (19/9/2019) pagi. Jarak pandang diperkirakan kurang dari 1000 meter.
Sedangkan berdasarkan alat pengukur Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) milik DLH Kota Jambi menunjukkan kualitas udara di Kota Jambi dalam kategori sangat tidak sehat.
Eksistensi Fachrori Umar sebagai Gubernur Jambi dipertanyakan, bahkan warga menyoroti aksi Fachrori bagi-bagi masker yang dinilai tidak membawa dampak yang signifikan terhadap mengatasi Karhutla.
“Sekelas dia (Gubernur) hanya bagi-bagi masker. Anak SMP saja bisa, itu tidak membawa dampak dalam mengatasi asap di Jambi,” Ujar Taha warga Kota Jambi.
Menurutnya, selaku kepala daerah membuat sebuah regulasi, kebijakan lalu mengeskekusi untuk mengatasi Karhutla di wilayah Provinsi Jambi.
Sedangkan akibat dari itu, hingga bulan September penderita ISPA di Kota Jambi mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dua bulan lalu. Begitupun aktifitas belajar dihentikan sementara diwilayah itu.
Begitupun Fachori dinilai lamban dalam merespon Kebakaran hutan di Jambi, ketegasannya ikut dipertanyakan terhadap kebakaran yang terjadi diwilayah pemegang izin konsesi perkebunan.
“Kondisi udara akibat asap kebakaran sudah sangat mengkawatirkan. Hujan buatan sudah sangat mendesak dilakukan saat ini,” paparnya.
Senada dengan Taha, Usman Ermulan salah satu Tokoh Masyarakat Jambi juga menekankan untuk segera dilakukan opsi hujan buatan.
Menurutnya, kondisi kualitas udara saat ini sangat tidak baik, maka dari itu dia meminta segala upaya dilakukan untuk mengatasi asap tersebut, termasuk opsi hujan buatan.
“Salah satunya bagaimana upaya pemerintah untuk melakukan hujan buatan, karena opsi tersebut sudah mendesak dilakukan disamping kita berdoa kepada tuhan,” katanya beberapa waktu lalu.
Begitupun kedepannya, dia berharap pemerintah agar membuat pembagian wilayah keseimbangan, antara perkebuan dan wilayah sebagai cadangan air.
KKI WARSI, Rudi Syaf menyampaikan berdasarkan data dan analisis pihaknya terjadi kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi disepanjang tahun 2019, seluas 18.854 hektare dengan titik hotspot sebanyak 7.468.
“Itu berdasarkan data per 31 Agustus lalu dan berdasarkan Citra Lansat TM8,” kata Rudi, seperti dilansir dari Kabardaerah.com.
Secara rinci dijelaskannya seluas 8.168 hektare terbakar di lahan gambut, di HTI 3.499 hektar, 4.359 hektar di lahan sawit, 1.193 hektar di lahan HPH, 6.500 hektar di restorasi dan 2.954 hektar di lahan masyarakat.
Rudi mengaku dilahan gambut pemadaman api lebih sulit dilakukan. Kendati demikian, tetap ada solusinya, yakni bersama-sama untuk taat aturan serta pemerintah harus tegas melakukan pengamanan.
“Pengamanan saat ini rendah, program pemerintah membasahi lahan gambut perlu dilakukan audit, kepatuhan kepada pemegang izin harus dilakukan sesuai dengan Perpres terkait tinggi muka air,” ungkapnya.
Sementara Direktur Perkumpulan Hijau dan Koordinator Pantau Gambut Jambi, Fery Irawan mengatakan lahan gambut yang ada di tiga kabupaten dalam Provinsi Jambi saat ini hampir 80 persennya telah rusak.
Menurutnya, ini akibat berlangsungnya kebakaran hutan dan lahan yang acap kali terjadi di Provinsi Jambi. Dari catatannya, di Jambi ada sekitar 600 ribu hektar lahan gambut yang tersebar di tiga kabupaten, yakni Kabupaten Muarojambi, Tanjab Barat dan Tanjab Timur ada sekitar 200 ribu hektar rusak karena dibuat ijin oleh pihak perusahaan.
“Kerusakan itu yang resmi, kalau tidak resmi diduga sudah mencapai 80 persen lahan gambut di Jambi rusak, karena dibuat kanal-kanal yang bisa mengeringkan lahan gambut. Akibatnya lahan gambut mudah terbakar,” ucap Fery.
Untuk memulihkam itu semuanya, katanya, perlu waktu berpuluh-puluh tahun, dan utama izin-izin perusahaan yang ada diwilayah lahan gambut harus dicabut.
“Izin-izin itu, kita dorong untuk dicabut, dan kita kembalikan fungsi lahan gambut seperti semula,” tegasnya. (Budi)