Jambi, AP – Berdasarkan data Dinas pertanian 2017. Setidaknya ada lebih dari 80 Persen atau 232 ribu kepala keluarga penduduk di Jambi menggantungkan hidupnya sebagai petani karet dan sawit.
Berdasarkan data yang di beberkan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jambi Usman Ermulan atau pria yang akrab di sapa UE ini. Untuk karet, dari angka 232 ribu kepala keluarga tersebut, kurang lebih sebanyak 344 ribu ton karet diatas lahan 673 ribu hektar di produksi setiap harinya. Angka ini mengalami penurunan setia tahunnya.
Kemerosotan harga karet dan sawit beberapa tahun belakangan ini, selain diakibatkan mekanisme harga pasar global, kurangnya perhatian pemerintah terhadap produksi karet dari petani juga disinyalir sebagai penyebab merosotnya harga karet
Hal ini menjadi perhatian serius yang dikemukan UE. Di Provinsi Jambi misalnya, dia mempertanyakan keseriusan Pemprov dalam mengimplementasi produk tani ini.
Waktu bergulir, tampuk kepemimpinan terus berganti, sebut saja salah satu program Pemerintah Provinsi Jambi dari era Hasan Basri Agus, Zumi Zola, Hingga saat ini Fachrori Umar yaitu hilirisasi Karet.
Program yang digadang-gadang sebagai pemecah masalah tataniaga karet ini, menjadi sorotan serius oleh Ketua HKTI Jambi ini.
Pasalnya, bukan memecahkan masalah para tani. Akan tetapi malah menjadi bumerang “bak program” yang perlu dipertanyakan sejauh mana implementasinya. Hal ini terlihat dari menurunya produksi karet Provinsi Jambi dari waktu ke waktu.
“Hingga saat ini harganya selalu anjlok, ini butuh peran pemerintah untuk mengatasinya.” sebut UE pada Rabu (09/10) lalu.
Lebih jauh ia menjelaskan, untuk mendorong terjadinya peningkatan harga komoditi karet dari sisi produk hilirisasinya, seperti aspal karet, sejauh ini Pemprov ketergantungan pada pabrik crumb rubber, “Itu bukan solusi, yang terpenting bagaimana kita membangun hilirisasi karet, kita carikan investor, kita siapkan lahannya,” tugasnya.
Menurut UE, Jika Pemerintah Daerah serius menangani masalah ini. Ia meyakini tren menurunya harga karet global hanya akan mempengaruhi sedikit harga karet dikalangan petani kebawah.
Selain itu, gagasan UPPB perlu digalakkan oleh pemerintah pusat. Belakangan ini, tidak menjadi acuan serius oleh Pemda.
Berdasarkan fakta dilapangan, dikatakan oleh Usman Ermulan harga karet yang diterima oleh petani saat ini tidak lebih dari Rp.6.500/KG, harga tersebut memiliki perbedaan cukup signifikan hingga 160 persen dari harga yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan KK 100 persen.
“Harga yang dikeluarkan oleh pemerintah jauh selisih yang diterima oleh petani hingga mencapai 160 persen. Butuh peran pemerintah mengatasinya, meski kadar karet petani tidak KK 100 persen tetapi ada upaya dilakukan, minimal kita bisa mengatasi selisih harga 80 persen artinya harga ada diatas 10 ribu perkilo yang diterima oleh petani,” sebutnya.
Menurutnya, ada beberapa hal yang menyebabkan selisih harga cukup tinggi, diantaranya tataniaga karet terlalu panjang, seperti banyaknya mata rantai yang bermain, rendahnya kualitas karet petani, kurangnya sosialisasi dan pengawasan dari pemerintah terhadap kualitas karet serta minimnya unit pengelolaan dan pemasaran karet yang disupport oleh pemerintah.
“Tataniaganya kita atur dengan mengurangi mata rantainya, kedepannya kita perbanyak UPPB (Unit Pengelolaan dan Pemasaran Bersama) disetiap daerah, melalui itu masyarakat akan menjual hasil karetnya, dan tidak lagi melalui mata rantai lalu kepabrik, seolah-olah ada aturan petani dilarang menjual kepabrik itu tidak ada, hanya akal-akalan mata rantai saja,” bebernya.
Selain itu, untuk jangka panjangnya dalam meningkatkan jumlah priduksi, program replanting dirasa sangat diperlukan pemerintah. Sebnyak ribuan hektar lahan petani tersebut, di ganti dengan karet kualitas terbaik. Sebut saja rata-rata petani saat ini hanya menghasilakn 10 smpai 15 kg/ Hektar dalam 1 hari, dengan program replanting, menghadirkan kualitas karet terbaik, petani mempu menghasilkan 20 – 25 kg/ hari. “Hal-hal seperti ini yang perlh diperhatikan pemerintah,” lanjutnya.
Maka dari itu katanya, butuh ketegasan dan keberanian dari pemerintah untuk memutus mata rantai, dia mencontahkan mata rantai tersebut dari petani lalu kepengepul kemudian dari pengepul lalu ke agen dari agen barulah kepabrik, hal itu tentu yang terjadi adalah pemotongan harga beberapa kali, dan imbas dari itu tentu harga yang ditekan adalah ditingkat petani.
Karena dia tidak ingin kedepannya transaksi ekonomi di Jambi menjadi lesu dengan anjloknya harga karet, menurutnya anjlok harga komoditi tersebut akan berimbas kepada semua bisnis, maka dari itu dia menegaskan harus ada peran dan solusi jitu untuk mengatasinya meski harga tersebut dipengaruhi oleh pasaran internasional. (Roni)