Jambi, AP – Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Jambi Jon Kennedy, menjelaskan diperlukan metode baru untuk meningkatkan harga jual karet produksi petani di daerah itu.
“Petani perlu metode baru dengan sistim sit angin seperti yang diterapkan warga Desa Muhajirin, Kabupaten Muarojambi,” katanya, Selasa (11/10).
Hasil karet latek yang diolah menjadi sit angin yang dilakukan petani Desa Muhajirin, jelas dia bisa diterima dengan baik oleh pasar dengan harga Rp 18.000 hingga Rp 25.000 per kilogramnya.
Jon mengatakan, saat ini sistim itu baru diterapkan di tiga kabupaten di Jambi, yakni Batanghari, Muarojambi dan Tanjung Jabung Barat dengan melibatkan Koprasi Unin Desa (KUD).
“Sit angin ini sangat laku di pasaran dan sudah ada penampungnya di Medan dan Jawa Barat,” ujarnya.
Hanya saja saat ini kata Jon, ketersedian bahan baku ditengah petani tidak mencukupi. Bahkan penampung dari Medan dan Jawa Barat ini mampu menampung hasil produksi di atas 50 ton per bulan.
“Petani kita hanya mampu menghasilkan produksi di bawah 50 ton per bulan. Tapi setelah Gapkindo rapat bersama gubernur, kita akan merumuskan. Bagaimana sistim sit angin ini ke depannya, karena pengelolaan sit angin sudah ada di setiap kabupaten penghasil karet,” katanya menjelaskan.
Sementara itu, Pemprov Jambi tengah mengkaji skema pemberian modal kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bergerak dibidang perkebunan karet untuk melakukan intervensi pasar terhadap harga karet di Jambi.
Gubernur Jambi Zumi Zola mengatakan saat ini Pemprov dan Gapkindo Jambi tengah mengidentifikasi penyebab jatuhnya harga karet ditingkat petani Jambi.
“Kita tengah mengkaji skema pemberian modal kepada BUMD untuk mengintervensi harga karet di Jambi. Intervensi pasar ini sepertinya logis untuk menaikkan harga karet masyarakat dari harga saat ini yang hanya Rp 4.000 hingga Rp 5.500 per kilogram,” kata Zola.
Menurut dia, hasil dari rapat dengan Gapkindo ini mengungkapkan fakta penyebab rendahnya harga karet masyarakat. Dimana selama ini karena permainan tengkulak dan lemahnya modal petani untuk menimbun karet.
“Petani karet kita lebih cendrung menjual karet ke tengkulak, petani tidak sabar mengumpulkan karet untuk dijual langsung ke pabrik atau sentra KUD pengolah karet menjadi sit angin dengan alasan kebutuhan modal,” katanya.
“Ke depan mata rantai tengkulak ini akan kita putus dengan menampung karet masyarakat itu melalui sentra-sentra KUD yang ada di desa. Ini yang akan kita siapkan dan tahun depan sudah mulai berjalan,” katanya menambahkan. ant