Jambi, AP – Salah penulisan angka. Sebelumnya dituliskan 4,2 juta hektar, seharusnya 42 juta hektar. Dan 266 KK, seharusnya 266 ribu. Terima kasih.
Berita selengkapnya sudah dibetulkan:
Mantan anggota komisi keuangan dan perbankan DPR RI, Usman Ermulan meminta Pemerintahan Joko Widodo bisa menahan diri membuat peraturan yang berpotensi menghambat kinerja ekspor minyak kelapa sawit.
Hal ini menanggapi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2020 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut Nasional.
“Kewajiban penggunaan kapal nasional bisa berimbas dengan kehidupan petani sawit yang jumlahnya hampir setengah penduduk Indonesia,” kata Usman, Kamis 25 Juni 2020.
Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu tumpuan ekonomi masyarakat. Dalam Rakernas HKTI di Istana Negara beberapa bulan lalu, Presiden Joko Widodo sempat menyatakan bahwa luasan perkebunan sawit di Indonesia mencapai 42 juta hektar. Kata Usman, bila satu Kepala Keluarga (KK) mengelola satu hektar saja. Dan satu keluarga diisi tiga artinya ada 126 juta orang yang menggantungkan kehidupan dari situ.
“Mana yang lebih penting ditolong, petani atau hanya segelintir pemilik kapal nasional,” kata Usman.
Mantan Bupati Tanjab Barat dua periode ini bilang, sepertinya pemerintahan Jokowi sudah lupa bahwa komoditas ini masih sebagai komoditas andalan karena mampu memberikan kontribusi devisa negara. Bahkan, kata Usman, produktivitas yang tinggi akan membuka banyak lapangan kerja. Nilai tambah yang tinggi dari sawit serta aneka turunan produknya akan banyak memberikan manfaat besar bagi masyarakat.
“Pengusaha kapal tertunda 1 bulan masih bisa bertahan hidup. Sedangkan petani begitu panen langsung beli beras. Kalau peraturan ini dipaksakan seketika harga sawit akan anjlok,” kata Usman.
Sebaiknya kata Usman, pemerintah tidak perlu terburu buru mengambil langkah itu. Pasalnya, kondisi ini memiliki kekhawatiran dengan meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia. Di Jambi contohnya berdasarkan data pemerintah provinsi, ada 266 ribu lebih KK yang menggantungkan hidup dari karet.
“Ini akan menambah beban baru lagi dengan anjolknya harga karet, bisa semakin parah lagi angka kemiskinan di daerah Jambi ini,” kata eks Stafsus Menteri PPN/Kepala Bappenas Kabinet SBY-JK ini.
Sebelumnya, Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono mengatakan di tengah melemahnya permintaan dunia terhadap minyak sawit (CPO), Pemerintah diharapkan meminimalisasi hambatan kewajiban menggunakan kapal nasional yang dinilai berpotensi menjadi beban baru.
“Kewajiban harus menggunakan kapal nasional, kalau bisa ditunda dulu agar tidak menjadi beban baru, karena ternyata tidak mudah menemukan kapal nasional untuk ekspor,” kata Joko belum lama ini.
Joko mengatakan dengan merebaknya pandemi COVID-19, terjadi distraksi pada permintaan dunia terhadap minyak sawit. Tercatat hingga April 2020, kinerja ekspor CPO yang mengalami pertumbuhan hanya terhadap India.
Kementerian Perdagangan mencatat sepanjang Januari-April 2020, ekspor CPO dan produk turunannya ke India mengalami pertumbuhan sebesar 11,2 persen menjadi 1,64 juta ton dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Jika dilihat dari segi nilainya, kinerja ekspor sawit juga meningkat 55,3 persen menjadi 1,09 miliar dolar AS.
Sementara itu, volume ekspor ke China anjlok sebesar 54,3 persen dari 1,93 juta ton pada 2019 menjadi hanya 879.000 ton pada 2020. Dari segi nilai, ekspor juga turun 48,5 persen dari 966,1 juta dolar AS menjadi 497, 4 juta dolar AS.
Oleh karena itu, Joko menilai dalam kondisi pandemi seperti ini, Indonesia harus menjaga pasar-pasar besarnya, yakni India, Pakistan, Bangladesh dan China.
Ia menambahkan bahwa selain kewajiban penggunaan kapal nasional, kebijakan pelarangan overdimension and overload (ODOL) juga membuat biaya logistik yang mahal sehingga produk sawit Indonesia kurang kompetitif dan berdaya saing.
Kebijakan lainnya yang harus dilakukan saat terjadi pelemahan permintaan dunia terhadap minyak sawit, yakni kampanye positif yang terstruktur, sistematif dan masif.
“Di saat pandemi pun, Eropa tetap berkampanye negatif. Menurut saya di luar kasus diskriminasi sawit, advokasi dan lobi ke Eropa juga tetap harus menjadi agenda utama,” kata Joko. (Red)