DERASNYA informasi mengenai masalah kesehatan yang beredar di dunia maya, membuat sulit untuk membedakan antara mitos dan fakta namun ahli nutrisi dari universitas di Belanda ini membantu untuk menguraikannya.
Ardy Brian Lizuardi, Master of Science in Nutrician and Health Wageningen University, Belanda menyebutkan beberapa fakta dan mitos seputar masalah kesehatan seperti ngemil bisa membuat gemuk, gula pasir sumber energi penting, konsumsi MSG bisa membuat rusak otak hingga gula aren lebih sehat dari gula pasir. Nyatanya tidak semua yang disebutkan di atas benar, berikut adalah penjelasannya.
Ngemil bikin gemuk
Ardy mengatakan secara umum nyemil tidak membuat badan menjadi gemuk, bahkan membantu untuk mengurangi berat badan asal yang dikonsumsi rendah kalori dan kaya serat.
“Studi menyebutkan bahwa ngemil sehat, tinggi serat dan mengandung protein ternyata akan membuat asupan kalori berkurang. Jadi mereka enggak akan makan terlalu banyak saat jam makan datang. Dengan nyemil lambung jadi terisi dan kita cenderung makannya jadi enggak banyak saat jam makan,” kata Ardy dalam bincang-bincang virtual NutriClass, Selasa.
Gula pasir sumber energi penting
Hal ini tidaklah benar. Sebab gula pasir mengandung karbohidrat sederhana yang akan berubah menjadi energi namun tidak memiliki manfaat lain. Gula pasir juga akan membuat kadar gula tubuh meningkat dengan sangat cepat.
“Kalau kadar gula naiknya terlalu cepat akan jadi energi dan kalau terlalu banyak jadi lemak. Kalau orang suka banget minum manis dan enggak mau gemuk, pilih gula yang rendah kalori. Gula nol kalori yang alami itu dari daun stevia,” jelas Ardy.
Kecap manis tidak tinggi garam
Hal ini tentu saja hanya mitos. Menurut Ardy dalam pembuatan kecap, kedelai diberi banyak garam untuk proses fermentasi. Agar rasanya tidak hanya manis, pada bagian akhir pengemasan ditambahkan garam agar lebih gurih dan nikmat.
“Kalau enggak dikasih garam, rasanya cuma manis orang enggak akan suka. Makanya produsen-produsen menambahkan garam. Penambahan garam adalah supaya balance jadi rasanya nikmat,” kata Ardy.
Makan daging kambing picu darah tinggi
Daging kambing tidaklah membuat darah tinggi. Yang menjadi masalah adalah banyaknya jumlah garam dan bumbu yang digunakan ketika memasak kambing.
Olahan daging kambing biasanya dimasak dengan santan, kecap dan garam. Bumbu inilah yang membuat tekanan darah menjadi tinggi. Jika Anda hanya memakan daging kambing, usahakan tidak memakai kecap atau santan yang berlebihan.
MSG merusak otak
Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa konsumsi MSG atau monosodium glutamat menyebabkan kerusakan otak. MSG juga sudah dinyatakan aman asal dikonsumsi sesuai batas.
Namun MSG masih mengandung sodium yang dapat berefek negatif terhadap tekanan darah jika dikonsumsi berlebihan. Kalau ingin mengurasi asupan MSG, Anda bisa mengkombinasikan dengan rempah atau gunakan kecap rendah kalori.
Susu bikin gemuk
Ardy menyebutkan jika hal ini hanyalah mitos. Susu harus tetap dikonsumsi sebab memiliki banyak manfaat khususnya bagi para wanita yang bersiap untuk menjadi ibu.
“Susu mengandung kalsium dan ini yang akan diberikan kepada calon bayi saat di kandungan, jadi tabungan kalsiumnya cukup untuk ibu dan anak. Kalau kurang saat lansia akan mengalami osteoporosis,” jelas Ardy.
Saat ini susu memiliki banyak pilihan, jika takut gemuk Anda bisa mengonsumsi susu yang rendah lemak dan kalori.
Gula aren lebih sehat dari gula pasir
Gula aren, gula batu dan gula madu dianggap lebih dari gula pasir atau gula putih. Faktanya, semua gula tersebut mengandung jumlah kalori yang hampir sama atau selisih kalorinya hanya sedikit dibanding gula pasir. Selain itu, gula-gula tersebut juga dapat menaikkan kadar gula darah dengan cepat.
Secara terpisah, Pakar kedokteran olahraga dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenal Muttaqin Sofro mengatakan olahraga bersepeda di masa pandemi sebaiknya dilakukan dengan intensitas ringan untuk menjaga pasokan oksigen dalam tubuh karena pesepeda tetap harus mengenakan masker.
“Olahraga bersepeda di luar rumah itu kan tujuanya rekreasi untuk senang-senang, lakukan dalam intensitas ringan saja. Kalau saat bersepeda berbicara sudah tidak jelas atau tersendat-sendat tandanya intensitasnya berat dan ini berbahaya,” kata Zaenal Muttaqin melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Selasa.
Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan ( FKKMK) UGM ini berharap saat bersepeda, masyarakat tetap menerapkan protokol kesehatan, seperti memakai masker untuk meminimalisasi risiko penularan COVID-19.
Meski demikian, kata dia, harus diimbangi dengan intensitas yang ringan. Sebab, saat olahraga dilakukan dengan intensitas berat pasokan oksigen dalam tubuh menurun ditambah penggunaan masker mengurangi masuknya oksigen ke paru-paru.
Olahraga dengan intensitas berat ini yang berkelanjutan dapat menimbulkan terjadinya “hypoxia” atau kekurangan oksigen jaringan. Kondisi itu dapat memperlambat kerja jantung dan juga menimbulkan saluran nafas terjepit yang tak jarang mengakibatkan kematian mendadak saat berolahraga.
Selain itu, Zaenal juga meminta masyarakat melengkapi diri dengan alat pelindung, seperti helm, untuk keselamatan saat bersepeda. Lalu, tetap menjaga jarak antarpesepeda sekitar 6 meter untuk menghindari risiko penularan dan menjaga keselamatan saat bersepeda di jalanan.
Para pesepeda juga diharapkan membawa minuman sendiri untuk menjaga kecukupan asupan cairan. Dengan menyiapkan minum sendiri harapannya pesepeda tidak mampir di warung untuk membeli minuman yang bisa berisiko terjadi penularan.
“Saat bersepeda jangan berjajar-jajar karena berbahaya. Lalu pilihlah jalan yang sepi atau aman dari kendaraan bermotor,” kata dia.
Dengan mematuhi langkah-langkah tersebut, Zaenal manilai bersepeda di luar rumah bisa berlangsung aman sekaligus mampu meningkatkan imunitas.
Meskipun begitu, dia menyarankan masyarakat cukup bersepeda secara statis di dalam rumah. Selain lebih aman, juga bisa menjadikan badan tetap bugar saat menjalankan aktivitas sehari-hari karena dilakukan dengan kecepatan mengayuh tetap (50 rpm) dangan beban yang disesuaikan dengan intensitas sedang, yaitu 60-80 persen dengan denyut nadi maksimum (220-usia).
Olahraga fisik tersebut, menurut dia, melibatkan otot besar, bersifat ritmis, serta berkelanjutan.
Ia berharap olahraga dengan sepeda tidak dilakukan secara berlebihan dengan intensitas tinggi karena justru bisa mengganggu kesehatan.
Menurut dia, bersepeda harus dilakukan dengan mengacu FITT principle yakni frequency, intensity, time, and type. Dilakukan 3-5 kali per minggu, intensitas sedang, dan durasi selama 30-45 menit.
“Bersepeda di luar rumah bisa dilakukan dengan konsisten mematuhi protokol kesehatan, tetapi saat pandemi ini lebih baik dengan bersepeda dengan sepeda statis dulu,” kata dia. (Red)