PEMIMPIN Yordania, Raja Abdullah II, mengeluarkan dekrit kerajaan untuk menunda pemilu parlemen yang semula dijadwalkan pada September 2020, dan setelahnya otoritas terkait merilis 10 November 2020 sebagai jadwal baru.
Keputusan itu diumumkan pihak kerajaan dan komisi pemilu melalui laporan media pemerintah pada Rabu 29 Juli 2020.
Hukum pemilu di Yordania meminggirkan perwakilan partai politik. Secara konstitusional, sebagian besar kekuasaan dimiliki oleh raja–yang menunjuk penjabat di pemerintahan serta menyetujui perundang-undangan.
Oposisi utama Yordania muncul dari partai yang ditarik dari garis gerakan politik Persaudaraan Muslim, namun tertahan secara hukum atas aktivitasnya.
Pemilu parlemen yang diundur dari jadwal semula tersebut, bagaimanapun, akan digelar di tengah sejumlah isu yang dihadapi Yordania, termasuk kontraksi ekonomi sebagai dampak pandemi COVID-19 dan kecemasan tentang langkah aneksasi Israel di Tepi Barat.
Para pejabat pemerintah menyebut pihaknya khawatir bahwa aneksasi akan mengubur kemungkinan berdirinya wilayah negara bagi bangsa Palestina, dan Israel akhirnya memperluas jajahan hingga ke tanah Yordania.
Yordania sendiri adalah negara dengan banyak masyarakat keturunan pengungsi Palestina yang keluarganya ditinggalkan pasca-pendirian negara Israel di tahun 1948. (Red)