KOMISIONER Bidang Traficking dan Eksploitasi Anak Komisi Perlindungan Anak Indonesia Ai Maryati Solihah mengatakan anak rentan dieksploitasi seseorang melalui media sosial, termasuk eksploitasi seksual.
“Dalam satu kasus, eksploitasi dilakukan sangat sistematis dalam menjadikan anak sebagai korban. Anak dieksploitasi, direkam, kemudian rekamannya disebarluaskan,” kata Ai dalam diskusi daring menyambut Peringatan Hari Dunia Antiperdagangan Orang, Rabu 29 Juli 2020.
Menurut data KPAI bidang perdagangan orang dan eksploitasi, anak menjadi korban pelacuran menempati urutan tertinggi. Salah satu modus menyasar anak-anak untuk dieksploitasi secara seksual dan diperdagangkan adalah melalui media sosial.
Di sisi lain, pornografi dan kejahatan siber yang melibatkan anak juga cukup tinggi. Menurut sistem data KPAI, pada 2018 terdapat 116 anak menjadi korban kejahatan seksual daring, 96 anak menjadi pelaku kejahatan seksual daring, 134 anak menjadi korban pornografi di media sosial, dan 112 anak menjadi pelaku kepemilikan media pornografi.
“Data dan kasus yang terungkap ke publik itu lebih kepada fenomena gunung es. Faktanya pasti lebih banyak kasus yang terjadi,” tuturnya.
Bentuk-bentuk eksploitasi seksual berbasis daring antara lain pemanfaatan anak untuk tujuan pornografi; grooming dan sexting, yaitu perkenalan di dunia maya dengan anak menggunakan identitas palsu kemudian membujuk anak bertukar foto bermuatan pornografi; dan sextortion, yaitu pemerasan kepada anak secara siber sebagai kelanjutan dari grooming dan sexting dengan menggunakan foto bermuatan pornografi anak sebagai ancaman.
Ai mengatakan Indonesia sudah memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan terkait pelindungan anak dari tindakan eksploitasi.
Peraturan tersebut antara lain Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Protokol Opsional Konvensi Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak.
Kemudian, juga ada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (Red)