SUMBAR, AP – Tiga tahun silam, tepatnya 4 Januari 2017 Irjen Pol Fakhrizal resmi ditugaskan sebagai Kapolda di kampung halamannya yakni Sumatera Barat. Pria kelahiran Bukittinggi, 26 April 1963 tersebut ditunjuk menggantikan Brigjen Pol Basarudin yang ketika itu ditarik ke Lembaga Pendidikan Polri.
Usai dilantik Jendral Tito Karnavian yang ketika itu masih menjabat sebagai Kapolri, Fakhrizal resmi berkantor di Jalan Sudirman No. 55 Padang setelah sebelumnya menjadi Kapolda di Kalimantan Tengah.
Dalam perjalanan kepemimpinannya di Ranah Minang, Polda Sumbar mengalami kenaikan tipe dari B ke A. Memasuki 2019 atau setahun jelang pelaksanaan Pilkada Sumbar, foto dan baliho Fakhrizal berisi imbauan ketertiban dan keamanan masyarakat marak terpasang di Ranah Minang.
Sejumlah pihak menenggarai hal itu merupakan upaya sosialisasi menjelang pelaksanaan Pilkada Sumbar 2020. Dugaan itu akhirnya terbukti karena pada Oktober 2019 organisasi yang menamakan diri Forum Sumbar Bersatu (FSB) terdiri atas ulama dan tokoh di daerah itu berharap Fakhrizal bisa maju sebagai calon gubernur pada Pilkada 2020.
Ketua FSB Mahyusil Rahmat menyatakan pihaknya memberi dukungan dengan membuat baliho atau papan reklame Irjen Pol Fakhrizal di seluruh kota dan kabupaten di Sumbar. Puncaknya pada November 2019 terungkap saat rapat dengan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Sumbar, Fakhrizal menyampaikan akan mencalonkan diri sebagai calon gubernur dan memilih berpasangan dengan Wali Kota Pariaman Genius Umar.
Persoalan majunya Fakhrizal sebagai calon gubernur itu sempat diprotes oleh anggota Komisi III DPR Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu dalam rapat dengar pendapat dengan Kapolri Jenderal Idham Azis pada November 2019.
Akhirnya pada 6 Desember 2019 melalui Surat Telegram Kapolri Nomor ST/3229/XII/KEP/2019 Fakhrizal digantikan Irjen Pol Toni Harmanto sebagai Kapolda Sumbar. Pria berkumis itu akhirnya dimutasi ke Mabes Polri bertugas sebagai Analisis Kebijakan Utama Bidang Sabhara Baharkam Polri.
Pada 18 Desember 2019, Fakhrizal dilepas ribuan personel Polda Sumbar dan masyarakat saat upacara Kapolda Sumbar di halaman Mapolda Sumbar. Ia mengucapkan terima kasih kepada seluruh personel yang telah bekerja sama selama tiga tahun ini.
“Mohon maaf apabila selama saya menjabat ada tutur kata dan perilaku yang kurang berkenan. Saya sebagai manusia biasa tak luput akan dari kesalahan,” kata dia.
Ia beserta istri menyalami seluruh personel di jajaran Polda Sumbar mulai dari pejabat utama, perwira menengah hingga para pegawai negeri sipil yang berbaris rapi memberikan ucapan salam perpisahan. Waktu pun terus bergulir dan kendati tidak lagi menjabat sebagai Kapolda di Sumbar, Fakhrizal memutuskan untuk maju di Pilkada Sumbar dari jalur perseorangan.
Fakhrizal menjadi satu satunya calon yang sudah memiliki pasangan resmi jauh hari untuk melangkah ke perhelatan demokrasi. Rabu, 19 Februari 2020, Fakhrizal-Genius Umar mendatangi ke KPU Sumbar membawa 336.657 KTP bukti dukungan masyarakat untuk diserahkan sebagai syarat pencalonan.
Sebagai satu-satunya pasangan calon perseorangan yang menyerahkan berkas untuk Pilkada Sumbar ia yakin bisa lolos verifikasi, karena jumlah dukungan yang diberikan melebih syarat minimal yaitu 316.051. Namun pada tahap verifikasi administrasi KPU Sumbar menetapkan jumlah dukungan Fakhrizal-Genius berkurang dari 327.774 menjadi 306.661 dukungan.
Jumlah ini berada di bawah ambang batas minimal yang harus dimiliki sebesar 316.051 dukungan agar dapat menjadi pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar dalam Pilkada 2020.
Usai KPU melakukan verifikasi faktual di lapangan untuk memastikan apakah pemilik KTP benar-benar mendukung pencalonan, terungkap hanya 130.258 penduduk Sumbar yang mendukung mantan kapolda itu.
Artinya jumlah total dukungan pasangan Fakhrizal-Genius Umar kurang sebanyak 185.793 surat dukungan dan harus melakukan perbaikan dengan mengumpulkan dukungan baru minimal dua kali lipat yaitu 371.586 yang diserahkan kepada KPU Sumbar pada 25-27 Juli 2020.
Menanggapi temuan tersebut, Bacagub Fakhrizal secara tegas menolak hasil rekapitulasi verifikasi faktual karena KPU Sumbar tidak mampu menjawab pertanyaan dari pihaknya. “Kami menolak hasil pleno rekapitulasi independen karena KPU Sumbar tidak mampu menanggapi enam poin yang kami pertanyakan,” ucapnya.
Mulai dari adanya formulir dukungan yang tidak diatur Ba 5.1 KWK, kemudian verifikasi hanya datangi pendukung satu kali saja dan berdampak pada 100 ribu pendukung tidak ditemukan. Ia mencontohkan di Kota Padang Panjang verifikasi hanya dua hari saja padahal ada waktu 14 hari
“Sekali didatangi dan warga tidak di rumah dan dinyatakan tidak ditemukan lalu dijadikan tidak memenuhi syarat,” tambah dia
Ketiga adanya dukungan RT dan dinyatakan tidak memenuhi syarat dan seharusnya jika tidak diperbolehkan harus ada landasan hukumnya. Keempat pendukung di nagari pemekaran seperti di Kabupaten Padang Pariaman dan Pasaman tidak masuk dalam verifikasi. Kelima perlakuan berbeda kepada pendukung yang tidak bersedia menandatangani dikatakan tidak mendukung.
Kemudian rekapitulasi formulir tidak memenuhi syarat hanya ada di Kabupaten Limapuluh Kota, sisanya tidak ada.
Sejalan itu, bakal calon Wakil Gubernur Sumbar Genius Umar menyatakan ketidakpuasan terhadap hasil pleno KPU Sumbar soal hasil verifikasi faktual dukungan. Ia menenggarai KPU Sumbar tidak profesional menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu.
Saat batas akhir penyerahan berkas perbaikan dukungan pada 28 Juli 2020, KPU Sumatera Barat menyatakan Fakhrizal-Genius Umar tidak lolos dalam tahapan verifikasi faktual, dan tidak dapat melanjutkan ke tahap berikutnya karena tidak menyerahkan dukungan perbaikan sebanyak 371.568.
Dengan demikian kandas sudah peluang pasangan itu untuk melaju ke Pilkada Sumbar melalui jalur perseorangan. Puncaknya Fakhrizal-Genius Umar akhirnya melayangkan gugatan kepada KPU Sumbar melalui Bawaslu terkait hasil rekapitulasi verifikasi faktual pasangan calon perseorangan di Pilkada Sumbar 2020.
Sejarah jalur perseorangan
Sepanjang pelaksanaan Pilkada secara langsung di Sumbar pada 2005, 2010 dan 2015 belum ada satu pun calon perseorangan yang menjadi kontestan. Bahkan pada tiga pilkada sebelumnya tak ada sama sekali kandidat yang menyerahkan dukungan KTP untuk maju lewat jalur nonpartai ini.
Sejarah jalur perseorangan dalam pilkada di Tanah Air diawali kekecewaan sejumlah pihak atas mekanisme pencalonan kepala daerah yang dinilai memiliki kelemahan, karena terjadi monopoli partai politik dalam proses pencalonan kepala daerah.
Memang pada awalnya dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004 diatur calon kepala daerah hanya dapat diusung oleh partai politik. Menurut Pratikno dalam tulisan “Calon Independen, Kualitas Pilkada dan Pelembagaan Parpol” dimuat pada Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 10, rakyat yang diharapkan memiliki otonomi dalam mencalonkan dan memilih calon pemimpin harus gigit jari, karena kewenangan terbesar berada di tangan elite partai politik.
“Ternyata, para elit partai politik dan sponsor yang mengendalikan proses pencalonan kepala daerah sehingga peran masyarakat luas selaku pemilih menjadi marjinal,” ujarnya.
Pratikno menjelaskan pada rancangan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 sebenarnya terdapat tiga usulan pencalonan kepala daerah.
Pertama, semua kandidat merupakan calon perseorangan. Kedua, sebagian kandidat dapat mencalonkan dari melalui jalur perseorangan dan sisanya diusung oleh partai politik. Ketiga, semua kandidat harus diusulkan oleh partai politik yang memperoleh suara minimal tertentu pada pemilu legislatif.
Tetapi, usulan tersebut ditolak oleh DPR dengan alasan mempermudah proses pencalonan. Saat itu berkembang wacana pencalonan melalui jalur perseorangan yang mensyaratkan tanda tangan dan foto kopi KTP pendukung kandidat dinilai akan menyulitkan terutama pada daerah pinggiran dan terpencil.
Selain itu, dikhawatirkan akan terjadi pembengkakan kandidat yang akan menyulitkan proses pemilihan.
Akhirnya, angin segar itu datang, salah seorang anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Lalu Rangga Lawe mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi soal Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 yang dinilai tidak mengakomodasi calon perseorangan dalam pilkada.
Gugatan tersebut dikabulkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 /PUU –V/2007 yang menyatakan peluang calon perseorangan terbuka lebar sebagai peserta pilkada. Salah satu pertimbangan putusan tersebut sebagaimana dikutip dalam salinan putusan adalah pendapat pakar Hukum Tata Negara Harun Al Rasyid menyatakan undang-undang yang tidak memberikan kesempatan kepada calon perseorangan adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Opini tersebut juga diperkuat oleh Prof Iberamsyah yang menyatakan hak demokrasi tidak dapat dibatasi, termasuk akses memilih pemimpin sehingga menghilangkan calon independen berarti menghilangkan sebelah nilai keping demokrasi.
Sejalan dengan itu pengamat politik Arbi Sanit juga menilai calon perseorangan akan mendorong partai politik memperbaiki diri menjadi partai yang sehat dan membangun demokrasi yang sehat.
Peluang calon perseorangan
Namun, berdasarkan catatan pelaksanaan pilkada di Indonesia, kandidat perseorangan yang berhasil menang pada pilkada terbilang kecil. Berdasarkan data yang dihimpun baru ada satu kandidat yang bisa menang pilkada dari jalur perseorangan yaitu Irwandi Yusuf-M Nazar pada Pilkada Aceh 2006.
Pengamat Politik Universitas Andalas (Unand) Padang Edi Indrizal menilai saat ini secara aturan untuk calon perseorangan jauh lebih berat daripada pelaksanaan pilkada sebelumnya. Ia memberi contoh untuk verfikasi faktual bukti dukungan saat ini dilakukan secara sensus dengan mendatangi semua pemilik KTP.
“Sedangkan sebelumnya hanya diambil sampel, ini membuat calon perseorangan jika mengumpulkan dukungan KTP dengan cara lama akan berat,” tuturnya.
Kemudian kegagalan pasangan Fakhrizal-Genius mesti menjadi introspeksi bagaimana strategi pengumpulan dukungan KTP tidak bisa menggunakan cara lama. “Misalnya, dengan mengumpulkan KTP bekas dukungan calon DPD RI sehingga mempertanggungjawabkan dukungan juga sulit,” ujarnya.
Berikutnya setelah dilakukan verifikasi faktual dukungan dengan metode sensus jika ada kekurangan calon harus menyiapkan ganti dua kali lipat dari jumlah yang kurang.
“Istilahnya lebih banyak nasi tambah, daripada santapan nasi pertama,” katanya.
Dengan kondisi tersebut akan sulit bagi calon perseorangan bisa lolos verifikasi faktual apalagi jika tidak mempunyai metode yang tepat dalam mengumpulkan dukungan.
Ditinjau dari perspektif politik semakin sempitnya ruang calon perseorangan dengan beratnya persyaratan, Edi menilai UU ini dibentuk oleh partai politik melalui wakil mereka di DPR.
“Jadi ada semangat partai politik untuk memperkuat peran mereka, padahal dari sisi demokrasi seharusnya tetap harus ada ruang,” imbuhnya.
Sementara dari sisi masyarakat tidak ada persoalan apakah kepala daerah dari partai atau calon perseorangan. Ia memberikan contoh Wali Kota Bukittinggi Ramlan Nurmatias merupakan figur yang berhasil menang pada pilkada yang ikut dari jalur perseorangan.
Terkait dari sisi biaya memang ada asumsi dari calon yang maju dari jalur perseorangan kalau menggunakan partai politik akan mengeluarkan biaya yang lebih besar. Padahal kenyataan saat ini dibandingkan lima tahun lalu berbeda, saat ini partai politik sudah mulai berbenah dan tidak terlalu menonjol soal biaya yang harus disiapkan calon. Oleh sebab itu jika ada yang berpikir biaya politik maju pilkada lewat jalur perseorangan lebih murah tidak sepenuhnya benar. (Red)