JAKARTA, AP – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengusulkan kepada pemerintah untuk membuat peta jalan dan persiapan secara rinci sebelum petani diwajibkan memiliki sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dalam lima tahun mendatang.
Ketua Apkasindo Gulat Manurung mengatakan persoalan legalitas dan status kepemilikan lahan hingga saat ini masih menjadi tantangan berat bagi petani.
“Masalah utama petani adalah legalitas lahan dan hal ini merupakan persyaratan utama mendapatkan sertifikasi ISPO karena benturan kerasnya ada di situ,” katanya, Senin 3 Agustus 2020.
Persoalan legalitas lahan tersebut mencakup seperti lahan sawit pekebun swadaya terindikasi berada di kawasan hutan, belum memiliki legalitas SHM (baru SKT), dan belum ada STD-B.
Tantangan lain mewajibkan ISPO Pekebun yaitu tidak terdokumentasinya aspek agronomis kebun petani seperti sertifikat bibit, pencatatan aspek pupuk, belum terbentuknya koperasi dan belum ada Internal Control System (ICS)
Persoalan ini, lanjutnya, yang membuat keterlibatan petani dalam sertifikat ISPO sejak 2015 sangat rendah, saat masih Permentan ISPO 2015 belum wajib bagi petani.
Merujuk data Komisi ISPO, setelah adanya aturan ISPO lima tahun yang lalu, baru 12.270 hektare perkebunan sawit petani bersertifikat ISPO atau 0,21 persen dari luas total kebun sawit petani 5,807 juta hektare.
“Namun, di Perpres ISPO 2020 menyebutkan sertifikasi ISPO diwajibkan pula untuk petani. Itu sebabnya, petani sangat khawatir apabila mandatori (wajib) ISPO menjadi persoalan baru dan sangat serius,” ujarnya dalam Dialog Ngeriung Bicara Sawit seri-IV bertemakan “Mandatori ISPO: Petani Mau Dibawa Kemana?”.
Menurut Gulat, dalam 54 bulan ke depan tanpa sertifikasi ISPO maka TBS petani berpeluang ditolak PKS bersertifikat ISPO dan ini akan memperburuk situasi di saat pemerintah berhasil di sektor kemandirian energi biodisel.
Direktur Responsible Palm Oil Initiative Rosediana Suharto menyatakan, konsep ISPO untuk petani swadaya tidak boleh dimasukkan dalam satu kategori dengan petani plasma karena keduanya berbeda.
Yang paling dirugikan dalam hal ini, tambahnya, adalah pekebun swadaya yang menghadapi tantangan legalitas lahan belum lagi persyaratan lainnya.
Sementara itu Senior Advisor KEHATI Diah Suradiredja sepakat dengan penyusunan peta jalan bagi kesiapan petani sebelum diwajibkan ISPO.
“Kalau membaca Instruksi Presiden Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan sebenarnya telah memberi peta jalan yang cukup lengkap untuk menuju sawit berkelanjutan,” katanya.
Dalam inpres tersebut, menurutnya, sangat jelas instruksi presiden kepada Menteri ATR/BPN melakukan percepatan penerbitan hak atas tanah pada lahan lahan perkebunan sawit rakyat.
Rismansyah Danasaputra selaku perwakilan lembaga sertifikasi mengusulkan saat pra kondisi mandatori petani dibina langsung oleh pemerintah daerah setempat, bermitra dengan PKS dan atau perusahaan perkebunan, dan dibina oleh pihak ketiga.
“Terkait sumber pendanaan dapat bersumber dari pemerintah (BPDPKS), mitra petani, dan pihak ketiga yang sah. Harapannya, ISPO ini dapat membantu petani dalam mengatasi ketimpangan harga TBS,” katanya. (Red)