JAKARTA, AP – Komisioner KPU RI I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan pihaknya tidak bisa mengubah persyaratan ambang batas pencalonan pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020 karena hal itu telah ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Pilkada.
I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi menjelaskan hal tersebut terkait adanya usulan agar ambang batas pencalonan untuk pilkada agar diturunkan.
“Kalau dalam konteks Pilkada 2020, ketentuannya diatur dalam pasal 40, UU No 10 Tahun 2016. Jika undang-undangnya tidak dilakukan perubahan maka KPU tidak bisa mengubah syarat ambang batas Pilkada 2020, sebab jangan sampai nanti KPU dinyatakan melanggar undang-undang,” katanya, Senin 3 Agustus 2020.
Dalam undang-undang tentang pemilihan gubernur bupati dan wali kota itu mengatur bahwa partai politik atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD. “Atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan,” katanya.
Selama undang-undang tersebut menurut Dewa tidak direvisi sampai sebelum hari pemilihan pada 9 Desember 2020 mendatang, maka syarat ambang batas yang dipakai tetap seperti yang diatur dalam UU No 10/2016 itu.
“Jadi tentu KPU berpegangan pada undang-undang, mungkin dilakukan perubahan jika undang-undangnya diubah,” ucapnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PAN Guspardi Gaus mengusulkan agar ambang batas pencalonan calon kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) diturunkan, untuk menghadirkan banyak calon yang dapat dipilih masyarakat.
“Kita malah yang inisiator dari awal-awal. Artinya dengan diturunkannya ambang batas persyaratan pencalonan kepala daerah, akan makin membuka peluang kepada para kandidat calon bupati, wali kota dan gubernur,” kata Guspardi.
Guspardi tidak menyebutkan secara pasti penurunan angka ambang batas pencalonan pilkada itu, namun persyaratan yang disebutkan dalam UU Pilkada sebesar 20 persen dinilainya terlalu berat sehingga memunculkan potensi seorang kandidat “borong” dukungan. Menurut dia, kalau praktek “borong” dukungan itu tetap dilakukan maka ada potensi munculnya seorang kandidat akan melawan kotak kosong dan itu tidak baik bagi pendidikan politik di Indonesia. (Red)