JAKARTA, AP – Sama seperti dokter dan tenaga kesehatan yang mendapat label atau dilabeli “pahlawan kesehatan”, karena tidak sedikit dari mereka meninggal, masih terinfeksi hingga dirawat, selama menjalankan tugas menolong sesama agar bisa kembali sembuh dari COVID-19, maka para jurnalis atau wartawan pun mendapat sematan yang mirip.
Dalam konteks COVID 19, apa sematan itu? Ya, labelnya adalah “garda terdepan dalam penyebaran informasi”.
Salah satu legitimasi “formal” dari label itu bisa dilihat pada cuitan Twitter Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) @BNPB_Indonesia pada 10 April 2020.
Merujuk pada Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid, cuitan itu berbunyi: @BNPB_Indonesia10 Apr Wartawan menjadi garda terdepan dalam penyebaran informasi. Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid mengajak wartawan lebih peduli akan keselamatan diri saat mewartakan informasi di lapangan terutama informasi yang berhubungan dengan COVID-19.
Lanjutannya, @BNPB_Indonesia10 Apr, Wartawan dapat melakukan disiplin mandiri (self discipline), menjaga jarak aman serta selama tidak bertugas (di luar) wartawan bisa juga melakukan pelaporan-pelaporan dari rumah saja dengan tetap mematuhi protokol kesehatan terutama menjaga jarak dari anggota keluarga di rumah.
Apa yang disampaikan tersebut jika ditilik secara normatif adalah sesuatu kondisi objektif yang terjadi saat ini. Bukan lagi sekadar berisiko tertular, saat ini pun sudah ratusan jurnalis di seluruh dunia positif COVID-19 dan bahkan meninggal dunia akibat terinfeksi virus corona jenis baru penyebab COVID-19 itu.
Press Emblem Campaign (PEC) yang bermarkas di Jenewa, Swiss dalam laporan yang disiarkan Selasa (2/6) 2020) menyebut bahwa sepanjang pandemi COVID-19, kasus penyebaran corona di dunia telah menyebabkan sedikitnya 127 jurnalis di 31 negara meninggal.
Dalam laporan itu PEC menyatakan 127 jurnalis itu meninggal dunia akibat tertular virus mematikan itu dalam tiga bulan terakhir. “Dari mulai 1 Maret hingga 31 Mei, sedikitnya 127 jurnalis meninggal akibat COVID-19. Sekitar dua pertiga di antaranya sedang bertugas,” sebut PEC.
Karena laporan itu disampaikan Juni, bisa diperkirakan bahwa jumlah itu bertambah memasuki akhir Agustus 2020 ini. Fakta itu, yakni jumlah wartawan yang terinfeksi bertambah kemudian divalidasi oleh Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan.
“Sebanyak 257 wartawan di berbagai negara meninggal akibat terinfeksi COVID-19. Tiga di antaranya di Indonesia,” katanya di Jakarta, Selasa (11/8).
Apakah wartawan di Indonesia yang meninggal dunia akibat COVID-19 itu hanya tiga, agaknya data tersebut mesti mendapat validasi dari asosiasi organisasi jurnalis di Tanah Air lagi mengingat banyak laporan di berbagai daerah yang menginformasikan adanya jurnalis lain yang berpulang karena COVID-19.
Tugas dan risiko
Dengan kondisi mobilitas jurnalis dalam menjalankan tugasnya mencari dan menggali informasi, khususnya terkait dengan agenda dan isu COVID-19, di antaranya berhubungan dengan narasumber di berbagai tempat, agaknya risiko tertular tidak bisa dihindari sama-sekali.
Terlebih dengan fenomena orang tanpa gejala (OTG), yang sama sekali dalam amatan kasat mata memang tidak diketahui sedang terinfeksi — sehingga bisa menularkan ke orang lain di dekatnya — maka di situlah risiko sedang mengintai jurnalis yang bertugas.
“Memang serba salah, karena tugas media adalah meliput dan mencari informasi dari narasumber berita, sehingga miliki risiko dalam menjalankan tugasnya,” kata Kuky Permana, direksi sebuah perusahaan yang sering menjadi narasumber jurnalis untuk isu-isu tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) bidang lingkungan.
Melihat kondisi objetif tersebut, ia menyarankan semua jurnalis selalu mematuhi protokol kesehatan COVID-19 yang ada, dalam berbagai bentuknya, khususnya kewajiban memakai masker.
Di samping itu, Kuky Permana mengingatkan jurnalis harus tetap menjaga imunitas tubuh, dengan moblitas yang tinggi itu, dengan makanan sehat dan suplemen kesehatan lainnya.
Ketua AJI Abdul Manan meneguhkan hal itu, terutama setelah pemerintah melakukan relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah terutama di Ibu Kota Jakarta.
Ia menyebut jika dibandingkan pada awal-awal kasus COVID-19 ditemukan di Tanah Air saat ini risiko jurnalis terpapar virus makin tinggi. Menurut dia jika saat awal-awal PSBB diterapkan hampir seluruh wartawan banyak bekerja dari rumah sehingga risiko terpapar virus juga kecil.
Namun, ketika relaksasi PSBB dilakukan maka otomatis para wartawan juga kembali bertugas ke lapangan sehingga potensi terinfeksi menjadi besar.
Perlunya panduan
Ragam risiko yang harus dihadapi jurnalis dalam kondisi pandemi yang belum berakhir ini meniscayakan perlunya panduan guna mengurangi dan meminimalisasi semaksimal mungkin tertular COVID-19 ini.
Karena itu, pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono mengingatkan bahwa jurnalis harus meningkatkan kewaspadaan diri saat bekerja di lapangan selama pandemi. Saran yang disampaikan adalah patuh pada protokol kesehatan, salah satunyadengan disiplin memakai masker dan membawa persediaan masker selama di lapangan.
Ia mewanti-wanti jurnalis tidak melepas masker ke mana pun dan mengganti masker setiap dua hingga tiga jam sekali. “Jangan sampai misalnya, ada yang tak bawa masker. Lalu minta kepada teman. Lebih baik lengkapi diri sendiri,” katanya.
Selain itu, tetap menjaga jarak aman saat melakukan kegiatan peliputan dan sering mencuci tangan juga perlu dilakukan saat berada di lapangan.
Menurut dia hal-hal kecil itu sepertinya terlihat sepele namun harus dicermati karena melindungi diri dari potensi tertular COVID-19 itu penting.
Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Atal S Depari menyatakan agar para wartawan mengutamakan kesehatan dan kondisinya serta menaati protokol kesehatan.
Menurut dia banyak metode peliputan yang bisa dilakukan tanpa harus mengambil risiko dengan berkerumun di lapangan, misalnya melalui televisi pool, televisi streaming, telepon seluler, dan sebagainya.
Sedangkan Ketua AJI Abdul Manan mengatakan bahwa dengan merujuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang telah menyatakan COVID-19 sebagai pandemi, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang terpapar dengan jumlah kasus dan korban jiwa terus bertambah, media sangat dibutuhkan untuk memberikan informasi yang akurat dan mendidik ke publik, selain juga melakukan tugas sebagai watchdog untuk mengawal penanggulangan krisis dengan baik.
Namun, guna meminimalisasi risiko bagi jurnalis media, pihaknya bersama Jurnalis Krisis dan Bencana dan Komite Keselamatan Jurnalis mengeluarkan panduan Protokol Keamanan Liputan & Pemberitaan COVID-19. Panduan itu bisa diunduh melalui laman https://aji.or.id/read/buku/63/protokol-keamanan-liputan-pemberitaan-covid-19.html.
Abdul Manan (4/8) 2020 juga menekankan tiga hal yang harus dilakukan perusahaan media jika ada jurnalisnya yang terpapar COVID-19. Pertama, perusahaan harus punya tanggung jawab dalam pengobatannya dan memastikan untuk mendapatkan pengobatan.
Meski idealnya memang pengobatan itu perusahaan membiayai sendiri, namun karena kondisi pandemi, di mana perusahaan media sedang mengalami kendala keuangan, bisa bekerja sama dengan Dinas Kesehatan setempat.
Ia menyebut perusahaan harus ingat bahwa hak untuk sehat adalah merupakan hak yang dilindungi Undang-Undang Ketenagakerjaan sehingga perusahaan wajib menjalankan.
Kedua, perusahaan memberikan masa istirahat agar jurnalis lekas pulih dan menghindari agar tidak ada rekan kerja lain yang ikut tertular, dan ketiga, perusahaan wajib menyampaikan informasi bahwa ada jurnalis yang tertular COVID-19.
Penyampaian itu diawali secara internal perusahaan, informasi disampaikan kepada Satgas Penanganan COVID-19 dan tidak menutupi informasinya dari masyarakat.
Pada akhirnya, risiko yang melekat pada jurnalis dalam menjalankan tugasnya sepanjang pandemi COVID-19 itu, dengan mengindahkan protokol, panduan dan parameter keselamatan lainnya, bisa menjadi pelindung dari potensi tertular. (Red)