YAYASAN KEHATI menyebut sagu sebagai sumber karbohidrat yang berasal dari keanekaragaman hayati asli yang potensial menjadi solusi kedaulatan pangan di Indonesia.
“Jika kita mau menengok sejarah, sumber pangan lokal Indonesia begitu beragam, di mana salah satunya yaitu sagu. Dengan kecocokan ekologis, dan fungsi tumbuhan sagu yang begitu banyak, maka sagu potensial sebagai sumber karbohidrat untuk kedaulatan pangan Indonesia, sekaligus pengganti terigu,” kata Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI Riki Frindos dalam webinar Sagu Sebagai Solusi Krisis Global, Minggu (11/10).
Selain sumber pangan manusia, sagu dapat dijadikan sebagai sumber pakan ternak, sumber bahan pangan industri, dan sumber energi. Sebagai sumber bahan pangan industri, pati sagu dapat menjadi bahan baku roti, mie, kue, dan sirup.
Pati sagu juga dapat digunakan dalam industri obat-obatan, kosmetik, kertas, etanol, dan tekstil. Sementara itu, bioethanol yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai bahan bakar pengganti premium.
Data Flach di 2007 menyatakan total luas tanaman sagu yang bernama latin Metroxylon spp di Indonesia dapat mencapai 1.250.000 hektare (ha) atau 51.3 persen luasan hutan sagu dunia. Jika dikembangkan dengan baik, sagu dapat menjadi solusi kedaulatan pangan Indonesia, bahkan dunia.
Sagu, ujar dia, sebagai tanaman asli Indonesia yang mempunyai potensi besar sebagai penyuplai kebutuhan karbohidrat Indonesia, lebih tepatnya sebagai pengganti beras. Selain budi daya yang ramah lingkungan, produktivitas sagu juga tinggi dibandingkan sumber pangan lain.
Tercatat potensi produktivitas sagu mencapai 20-40 ton per ha per tahun (Bintoro, 2000). Jauh lebih tinggi dibandingkan beras yang mencapai 5.2 ton per ha per tahun, jagung mencapai 8.2 ton per ha per tahun, dan ubi kayu mencapai 6.75 ton per ha.
Sementara itu, penyebaran tanaman sagu di Indonesia terutama di daerah Papua, Papua Barat, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jambi, Sumatera Barat (Mentawai), dan Riau.
Tumbuhan itu memiliki nama lokal yang berbeda-beda, seperti Kirai oleh orang Sunda, Ambulang atau Kersulu oleh orang Jawa, Lapia bagi orang Ambon dan Pulau Seram, lalu Tuni, Roe dan Molat oleh orang Sulawesi Tenggara. (Red)