JAKARTA, AP – Satuan Tugas(Satgas) Penanganan COVID-19 mengingatkan masyarakat tentang kerawanan penyebaran COVID-19 terkait rencana unjuk rasa yang bakal digelar pada Senin, 2 November 2020.
Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito menjelaskan COVID-19 berpotensi menyebar semakin luas ketika masyarakat berkumpul tanpa mematuhi protokol kesehatan.
Karena itu, ia meminta masyarakat mempertimbangkan lagi rencana unjuk rasa yang akan digelar pada 2 November 2020. “Kami imbau untuk mempertimbangkan tata cara penyampaian aspirasinya, mengingat kondisi pandemi dan kasus yang masih tinggi. Utamakan selalu kepentingan kesehatan masyarakat,” kata Wiku, Minggu (1/11).
Secara terpisah, Ketua Departemen Epidemiologi Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono menyarankan masyarakat tidak melakukan unjuk rasa, sebab angka penularan COVID-19 belum melandai.
”Iya, memang demonstrasi sangat berpotensi timbul adanya penularan COVID-19. Karena di situ masyarakat berkumpul dan bepotensi adanya penularan,” tuturnya.
Tri Yunis mengatakan unjuk rasa baru bisa dilakukan jika masyarakatnya patuh terhadap 3M, seperti memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan sehingga dirasa cukup aman dari penularan COVID-19.
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan sebanyak 123 mahasiswa positif COVID-19 setelah unjuk rasa menolak Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja beberapa waktu lalu.
Artinya, kata dia, data tersebut menjadi bukti bahwa unjuk rasa berpotensi menularkan COVID-19. “Karena masyarakat berkumpul saat unjuk rasa dan berpotensi adanya penularan (Covid-19),” ujar Tri Yunis.
Sementara itu, aksi demonstrasi dan kerumunan masyarakat yang timbul di dalamnya dapat memperpanjang masa pandemi COVID-19 sampai dua bulan lebih lama di Indonesia, kata pakar bioteknologi mikroba Dr Intan Taufik.
Contohnya, aksi demonstrasi menolak Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (#TolakOmnibusLaw) pada 6 Oktober 2020 dan demonstrasi satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada 20 Oktober 2020.
Intan Taufik mengatakan bahwa dua aksi demonstrasi tersebut selalu diikuti lonjakan kasus positif dan angka kematian akibat COVID-19 di wilayah yang mengalaminya.
“Adanya keramaian yang kemarin disebutkan, kalau dari data yang didapat, menghasilkan lonjakan pasien positif (yang tervalidasi dengan tes) di luar perkiraan normal (rata-rata). Ini memiliki dampak beruntun (domino effect) dan menaikkan kurva. Otomatis ketika kurva naik, maka melandai atau menurunnya kasus/pandemi akan semakin panjang,” ujar staf pengajar di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB itu.
Menurut perhitungan sebuah aplikasi yang dibangun tim ahli Institut Teknologi Bandung (ITB) PREMISE, kedua demonstrasi tersebut memiliki hubungan yang kuat terhadap penambahan kasus positif COVID-19, bahkan menaikkan tingkat kematian akibat penyakit saluran pernapasan tersebut.
Dua demonstrasi tersebut, menurut perhitungan PREMISE ternyata telah meningkatkan kasus positif sebesar 6 persen atau ada penambahan 233 kasus per hari. Padahal rata-rata penambahan kasus harian pada tanggal tersebut adalah 3.878 kasus.
Bukan hanya kasus positif, kasus kematian akibat COVID-19 setelah dua demonstrasi itu juga mengalami peningkatan hingga sebesar 0,11 persen atau naik 3,3 persen dari angka kematian rata-rata di Indonesia yang ada pada angka 3,41 persen.
Wilayah yang berkontribusi besar terhadap penambahan itu adalah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pada dua tanggal demonstrasi tersebut, kerumunan demonstran meramaikan keempat wilayah itu.
Berdasarkan prediksi PREMISE, jumlah kasus harian COVID-19 selama satu minggu setelah pasca-demo 6 Oktober 2020 hingga 14 Oktober 2020 adalah 3.843 kasus perhari. Data aktual menunjukkan bahwa jumlah kasus baru pada periode yang sama adalah sebesar 4.207 kasus per hari, lebih tinggi 364 kasus per hari dari angka prediksi. Demonstrasi RUU Cipta Kerja pada tanggal 6 Oktober 2020 berkontribusi terhadap peningkatan kasus harian sebesar 9,5 persen di Indonesia.
Khusus DKI Jakarta, dampak peningkatan kasus COVID-19 akibat demo RUU Ciptaker itu terlihat paling tinggi. Diprediksi rata-rata kasus harian pasca-demonstrasi di DKI Jakarta pada 6 Oktober hingga 14 Oktober 2020 adalah 920 kasus per hari. Sementara jumlah kasus rata-rata aktual mencapai 1,178 kasus per hari atau naik 28 persen dari angka kasus normal.
Selain demonstrasi RUU Ciptaker, peningkatan kasus juga terjadi akibat demonstrasi satu tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin pada 20 Oktober 2020. Satu minggu setelah aksi demonstrasi tersebut, jumlah kasus meningkat menjadi 4,051 kasus per hari. Ini terjadi di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Kegiatan demonstrasi satu hari itu juga berkontribusi terhadap peningkatan kasus sebesar 2,6 persen. (Red)