KONFEDERASI Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) mempersoalkan sejumlah pasal dalam klaster keternagakerjaan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi.
“Pendaftaran gugatan judicial review UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sudah resmi tadi pagi didaftarkan ke MK di bagian penerimaan berkas perkara oleh KSPI dan KSPSI AGN,” ujar Presiden KSPI Said Iqbal, Selasa (3/11).
KSPI di antaranya mempersoalkan sisipan Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi (UMP) dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dengan syarat tertentu.
Penggunaan frasa “dapat” dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) didalilkan sangat merugikan buruh karena UMK menjadi tidak wajib.
Selanjutnya, UU Cipta Kerja disebut menghilangkan periode batas waktu kontrak yang terdapat di dalam Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sehingga dikhawatirkan pengusaha dapat mengontrak karyawan berulang-ulang tanpa kepastian pengangkatan sebagai pegawai tetap.
Pemohon kemudian mempersoalkan pengurangan pesangon karyawan dari 32 bulan upah menjadi 29 bulan upah yang diatur dalam UU Cipta Kerja sehingga merugikan buruh. Hal lainnya yang disoroti buruh dari UU Nomor 11 Tahun 2020, kata Said Iqbal, adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi mudah dengan hilangnya frasa “batal demi hukum” terhadap PHK yang belum memiliki penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pemohon mengkhawatirkan dampak UU Cipta Kerja yang akan mempermudah tenaga kerja asing, khususnya profesi buruh kasar, masuk ke Indonesia. Sebelum KSPI, sejumlah kalangan telah mengajukan pengujian UU Cipta Kerja meski belum secara resmi diundangkan dan belum bernomor pada saat itu. (Red)