DI USIANYA yang tak lagi muda, mantan penyanyi cilik Iyut Bing Slamet (IBS) kembali berurusan dengan aparat berwajib untuk yang kedua kalinya karena kasus penyalahgunaan narkotika.
Wanita paruh baya itu sempat histeris saat petugas melakukan penangkapan di rumahnya di kawasan Kramat Sentiong, Johar Baru, Jakarta Pusat, Kamis (3/12) pukul 23.30 WIB.
Tangisnya pecah, berkali-kali mengucapkan kata ‘mati’, bahkan sesekali ia sempat memanggil nama Tuhan dalam isaknya, hingga memanggil ‘mama’ terdengar jelas dalam video penangkapan yang viral di media sosial.
Ditangkap untuk kedua kalinya, agaknya membuat adik kandung Adi Bing Slamet itu syok berat sehingga harus didampingi oleh anggota polisi wanita (Polwan) selama menjalani pemeriksaan di Polres Metro Jakarta Selatan.
Pendampingan itu dilakukan agar perempuan bernama lengkap Ratna Fairuz Albar (52) itu, bisa tenang dalam menjalani pemeriksaan dan bisa memberikan keterangan kepada petugas agar dapat mengungkap siapa jaringan yang menjual narkoba kepada dirinya.
“IBS sampai saat ini masih syok setelah ditangkap terkait narkoba ini sehingga harus dikawal Polwan,” ujar Kapolres Jakarta Selatan, Kombes pol Budi Sartono di Mako Polres Metro Jakarta Selatan, Sabtu.
ARTIS NARKOBA
Peribahasa ‘hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama dua kali’ menggambarkan bagaimana IBS atau Iyut Bing Slamet pernah ditangkap pada Maret 2011 atas kasus penyalahgunaan narkotika jenis sabu dan dijatuhi hukum penjara selama satu tahun.
Pada waktu itu, Iyut ditangkap di sebuah kamar hotel di kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat, dengan barang bukti sabu seberat 0,4 gram, beserta alat hisap (bong). Kali ini, petugas menangkap Iyut setelah memesan sabu diduga seberat 0,7 gram, yang telah habis dipakainya pada tanggal 1 Desember 2020.
Petugas menemukan barang bukti satu set alat hisab sabu, dua buah korek gas dan satu buah plastik klip bening bekas narkotika (yang diakui IBS 0,7 gram). Dari hasil tes urine yang dilakukan petugas, Iyut terbukti positif mengandung jenis narkoba metafetamin.
Iyut bukan satu-satunya artinya yang terjerat narkoba dua kali, ada nama-nama besar selebritas dan figur publik yang bernasib sama. April 2020 lalu, aktor ‘gaek’ Tio Pakusadewo ditangkap Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.
Dalam penangkapan itu, polisi menyita barang bukti ganja seberat 18 gram dan alat hisab sabu. Aktor kawakan itu juga pernah ditangkap karena kasus serupa pada Desember 2017 di kediamannya, Jalan Ampera I, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Polisi menemukan barang bukti sabu seberat 1,06 gram beserta alat hisabnya.
Jika ditelusuri di internet ada banyak nama-nama artis yang terjerat narkoba lebih dari sekali, seperti Reza Artamevia yang ditangkap September 2020, juga pernah ditangkap sebelumnya pada 2016.
Lalu ada Jenifer Dunn yang mencetak ‘hattrick’ sudah tiga kali ditangkap karena kasus narkoba. Ditangkap pertama kali tahun 2005 saat usianya masih 15 tahun, empat tahun berselang, wanita blasteran itu kembali ditangkap pada 2009 dan yang ketiga kalinya pada 31 Desember 2017.
Nama-nama lain artis yang terjerat narkoba lebih dari sekali, ada Ibra Azhari, Roy Marten, Fariz RM, Polo Srimulat, Rio Reifan dan masih ada lagi yang lain.
PEREDARAN GELAP
Pengamat Sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengatakan narkoba adalah bisnis gelap yang menargetkan siapa saja sebagai pembeli dan pengguna, baik itu artis, remaja, orang awam, aparat hingga akademisi pun bisa.
Ia mengungkapkan hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menunjukkan penggunaan narkoba tidak dimonopoli oleh profesi tertentu (artis), tapi semua kalangan, yang paling utama yaitu angka terbesarnya adalah orang yang di usia produktif.
Kenapa para pedagang narkoba menyasar usia produktif, alasannya karena memiliki daya beli, pebisnis narkoba mengincar orang-orang yang memiliki kemampuan membeli dan itu bisa siapa saja, bukan hanya artis saja.
Lantas kenapa orang-orang menggunakan narkoba? Devie menyebutkan narkoba secara umum memiliki dua efek yakni sebagai stimulan (meningkatkan stamina) dan depresan (membuat rileks/menenangkan). Dua sisi mata uang, efek narkoba ini perlu kehati-hatian, terlebih di era modern saat ini wabah pandemi COVID-19 membuat pengguna narkoba meningkat dengan berbagai motifnya.
“Kehidupan modern tidak membuat hidup lebih mudah. Orang sekarang bersaing secara ekonomi, kompetisi ekonomi kuat sekali, ditambah lagi ada pandemi, kita bisa pahami semua orang dalam keadaan stres,” katanya.
Keadaan stres ini, lanjut Devie, mendorong orang untuk mencari jalan keluar, sayangnya ada sebagian kecil masyarakat melihat bahwa narkoba menjadi jalan keluar. Pilihan itu bukan sepenuhnya jadi salah masyarakat, karena ada juga sekelompok orang yang memang mengincar masyarakat untuk mengkonsumsi narkoba, ada pebisnisnya.
Seperti lingkaran setan, kompetisi ekonomi, tekanan hidup membuat narkoba selalu jadi alasan untuk dicari, baik dikonsumsi tanpa menyadari efek candu yang ditimbulkan merusak organ dalam atau diedarkan dengan ganjaran hukum mati sebagai hukuman.
Seperti Iyut Bing Slamet yang mengaku sudah mengkonsumsi narkoba sejak 2004 dikenakan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman hukuman empat tahun pidana penjara.
PERANG NARKOBA
Media sosial menjadi salah satu pintu masuk bagi pengedar narkoba membidik calon pembelinya. Semakin banyak orang stres yang mengumbar kegalauannya di media sosial, semakin mudah para penjual obat-obatan terlarang itu menjelma seperti malaikat untuk mendekati kliennya, sebagai teman curahan hati atau sahabat.
Devie Rahmawati yang juga Dosen Vokasi Universitas Indonesia itu mengatakan masyarakat kerap salah kaprah menganggap penjual narkoba adalah sosok yang mengerikan. Padahal, sejatinya mereka para penjual narkoba adalah orang yang hadir di saat seseorang sedang susah, mendengarkan keluhan dan memberikan perhatian.
“Jangan pernah berfikir pengedar narkoba ini adalah orang yang jahat, dia justru tampil seperti malaikat. Itu yang orang sering lupa, pengedar itu rajin menelpon kita, gimana, apa kabar dan sebagainya,” ungkap Devie.
Oleh karena itu, Devie mengingatkan bahwa banyaknya artis terjerat narkoba mengindikasikan narkoba itu buta, memilih siapa saja yang bisa membeli barang-barangnya, peredaran gelap narkoba nyata, tidak akan pernah berhenti menghantui kita semua, mengincar menjadikan kliennya.
UPAYA ATASI
Hukum terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di negara ini sudah kuat, kata Devie, adanya hukuman mati bagi pengedar narkoba adalah bukti negara serius memerangi narkoba.
Upaya hukum lewat rehabilitasi bagi penyalahguna juga sudah berjalan baik, menurut Devie, hanya saja efek candu yang ditimbulkan membuat orang-orang yang pernah memakai narkoba seperti keledai yang jatuh di lobang yang sama.
Bukan permasalahan hukum bukan pula permasalahan rehabilitasi yang membuat kasus narkoba terus meningkat dan berkali-kali menjerat selebritas, kejadian itu menjadi pengingat, dan kampanye ‘jangan sekali-kali pun mencoba narkoba’ itu penting ditanamkan dalam pikiran bawah sadar kita.
Karena ketika masyarakat sudah sadar akan dampak buruk narkoba bagi kesehatan, kehidupan serta ekonomi, dengan sendirinya penjual yang datang seperti malaikat tidak akan bisa merayu untuk membeli apalagi memakai.
Menurut Devie, 5-I (i) penyebab narkoba, yakni, rendahnya interaksi, lemahnya literasi, belum meratanya edukasi, depresi dan kompetisi ekonomi.
Lantas bagaimana membuat masyarakat sadar, jadilah teman dekat setiap orang baik di dalam keluarga maupun lingkungan, bertegur sapa, saling menanyakan kabar, kepada tetangga, teman ataupun saudara.
Devie mengatakan lakukan langkah pencegahan dengan 4-I (i), yaitu sosialiasi, edukasi demonstrasi, penegakan regulasi dan penguatan rehabilitasi. Devie menyarankan, pada level mikro, masyarakat harus memperkuat kearifan lokal untuk saling bertegur sapa, walau kelihatannya klise, tapi sulit dilakukan di saat semua orang sibuk dengan layar ponselnya.
Sedangkan di tataran pemerintahan, pendidikan dini mengenalkan modus-modus narkoba dan pemasarannya dengan cara disimulasikan, tidak hanya diinformasikan atau dihafalkan, tapi didemonstrasikan.
Dengan sosialisasi yang disimulasikan tersebut secara kuat dilakukan oleh pemerintah, maka mencegah orang tidak tergoda, sederhananya jika ada yang menawarkan tapi tidak ada yang membeli, selesai sudah urusannya.
Agaknya, dengan merekatkan kembali hubungan sosial maka narkoba, selain dapat diantisipasi, setidaknya tidak membiarkannya menjadi bagian dari kehidupan, juga menutup peluang barang haram tersebut hadir di dalam keseharian baik secara langsung maupun tidak. (Red)