KETUA Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo mengingatkan setidaknya ada tiga tantangan yang dihadapi Indonesia sebagai center of gravity komunitas global.
Bamsoet, sapaan akrabnya, dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Selasa, menyebutkan tantangan pertama memiliki sekitar 270 juta penduduk dengan 733 bahasa, 1.340 suku, dan enam agama, serta beragam aliran kepercayaan sehingga sangat rentan untuk diadu domba.
Kedua, kondisi geografis sebagai negara kepulauan yang terletak di antara dua benua dan dua samudra dengan perairan yang menjadi pusat jalur perdagangan laut dunia menjadikan Indonesia tidak mungkin menutup diri terhadap lalu lintas peradaban global.
Menurut dia, kondisi tersebut membawa dua konsekuensi, yakni apabila mampu mengelola dengan baik, akan membuat bangsa Indonesia makin matang dalam membangun peradaban. Namun, apabila tidak bisa mengelolanya, taruhannya adalah tergerusnya jati diri dan identitas kebangsaan.
Ketiga, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau yang terbentang pada cakupan wilayah seluas hampir 5,2 juta kilometer persegi, menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya potensi sumber daya.
“Misalnya, sumber daya laut, merujuk data Badan Pangan Dunia/FAO, potensi lestari sumber daya ikan laut Indonesia diperkirakan 12,54 juta ton per tahun,” ujar Bamsoet.
Politikus senior Partai Golkar itu menyampaikannya dalam kuliah umum di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Yogyakarta, Selasa (15/12).
Turut hadir, antara lain anggota MPR RI/Komisi X DPR RI Robert J. Kardinal, anggota MPR/Komisi VII DPR RI Gandung Paradiman, pendiri UPN Yogyakarta Prof. Bambang Soeroto, Rektor UPN Veteran Yogyakarta Dr. Irhas Effendi, dan Ketua Senat sekaligus Dekan Fakultas Teknologi Mineral Prof. Dr. Sutarto.
Dia menekankan bahwa ketiga faktor tersebut harus membuat Indonesia lebih memperhatikan implementasi bela negara agar tidak tergilas kompetisi global, ditambah berbaurnya ancaman militer dan nonmiliter yang telah mendorong terciptanya dilema geopolitik dan geostrategis yang sulit diprediksi.
Apalagi, kata dia, konsepsi keamanan nasional telah mengalami pergeseran paradigma sehingga ancaman tidak lagi bersifat kasatmata, tetapi bersifat kompleks, multidimensional, serta berdimensi ideologis.
Bamsoet menyebutkan ancaman yang bersifat ideologis hadir dalam beragam fenomena, antara lain berkembangnya sikap intoleransi, tumbuhnya radikalisme dan terorisme, hingga munculnya sikap disintegrasi dan separatisme.
“Melalui derasnya arus globalisasi yang menembus batas teritorial, ancaman ideologis tersebut makin terasa nyata. Nilai-nilai asing yang merasuk melalui globalisasi mulai menggeser nilai-nilai keindonesiaan,” kata Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI itu memaparkan survei CSIS yang mencatat sekitar 10 persen generasi milenial setuju mengganti Pancasila dengan ideologi lain.
Survey LSI pada tahun 2018 juga mencatat bahwa dalam kurun waktu 13 tahun, masyarakat yang pro-Pancasila mengalami penurunan sekitar 10 persen, dari 85,2 persen pada tahun 2005 menjadi 75,3 persen pada tahun 2018.
“Hadirnya berbagai ancaman terhadap ideologi bangsa tidak dapat kita respons hanya dengan cara konvensional. Misalnya, hanya dengan memperkuat kekuatan militer dan persenjataan, atau membangun benteng pertahanan fisik untuk memagari wilayah nusantara,” katanya.
Bamsoet menekankan bahwa implementasi bela negara juga harus menjadi langkah terintegrasi pada semua lini dan menyentuh seluruh aspek.
“Di sinilah pentingnya membangun benteng ideologi,” kata Wakil Ketua Umum SOKSI ini menegaskan.
Sesuai dengan amanat Pasal 27 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sehingga Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan berada di garda depan sebagai komponen utama, didukung komponen cadangan dan komponen pendukung bela negara dalam menghadapi ancaman militer.
“Untuk menghadapi ancaman nonmiliter, lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan akan tampil sebagai komponen utama sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi. Didukung unsur lain dari segenap komponen bangsa, termasuk kalangan perguruan tinggi,” kata Bamsoet. (Red)