JAKARTA- Pemanfaatan energi panas bumi di Indonesia belum maksimal. Hingga tahun 2020, pemanfaatan panas bumi di Indonesia masih minim, yakni baru 2.130,7 MW atau hanya 8,9% dari total sumber daya yang ada.
Salah satu penyebabnya yaitu harga listriknya yang lebih mahal dibandingkan dengan Energi Baru Terbarukan (EBT) lainnya.
Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Harris mengatakan, demi menekan harga yang mahal ini, pemerintah akan turut ambil peran dalam mengebor sumur eksplorasi panas bumi.
Dia mengatakan, harga listrik panas bumi saat ini masih berada di posisi belasan sen dolar per kWh, jauh lebih mahal jika dibandingkan pembangkit EBT lainnya seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang saat ini berkisar 3,6-3,7 sen dolar per kWh.
“Panas bumi belum bisa ke situ (3-4 sen dolar per kWh), target kita di bawah 10 sen dolar, yakni 7-8 sen dolar per kWh,” ungkapnya dalam diskusi Indonesian Geothermal Power Forum, Jumat (21/05/2021).
Bila harga listrik panas bumi ini masih mahal, maka ini akan berdampak kepada subsidi listrik pemerintah melalui PT PLN (Persero). Pasalnya, tarif listrik saat ini masih diatur pemerintah.
Untuk itu, pemerintah menurutnya juga berupaya menekan harga listrik panas bumi dengan memberikan insentif kepada pengembang.
“Masyarakat kita tidak bisa dipaksa beli listrik dengan harga berapa pun. Salah satu concern kami adalah harga yang cenderung tinggi,” ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, subsidi listrik di Indonesia masih sangat besar yakni mencapai Rp 50-an triliun per tahun, sehingga perlu upaya untuk mereduksi biaya.
Pemerintah pada tahun ini menargetkan akan ikut mengebor sumur eksplorasi panas bumi di Cisolok, Jawa Barat dan Nage di Nusa Tenggara Timur. (CNBC)