JAKARTA – Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengungkap prediksi bahwa DKI Jakarta bakal tenggelam dalam 10 tahun ke depan.
Hal itu disampaikannya dalam pidato tentang perubahan iklim di Kantor Direktur Intelijen Nasional AS, Selasa, 27 Juli 2021.
Dalam pidatonya, Biden mengingatkan tentang perubahan iklim dan pemanasan global yang bisa mengubah doktrin strategi nasional.
Dia mengatakan dampak pemanasan global bisa mencairkan es di kutub dan menaikkan permukaan air laut. Selain itu dia menyebut prediksi tenggelamnya ibu kota Indonesia, Jakarta.
“… Apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksinya benar bahwa, dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena mereka akan berada di bawah air?” kata Biden dalam pidatonya sebagaimana dipublikasikan whitehouse.gov, Jumat.
Majalah Tempo edisi 24 Juli menuliskan berbagai prediksi para ahli tentang nasib Jakarta. Pada 2018, peneliti dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas, memprediksi 95 persen wilayah Jakarta Utara akan terendam air laut pada 2050.
Pemicunya adalah penurunan tanah sebesar 2,5 meter dalam 10 tahun (1-15 sentimeter per tahun). Pada 12 Mei lalu, firma konsultan risiko Verisk Maplecroft memasukkan Jakarta ke daftar 100 kota yang menghadapi risiko besar lingkungan, dari banjir hingga kerentanan terhadap krisis iklim.
Studi terbaru adalah yang dilakukan Greenpeace East Asia, yang dirilis pada 24 Juni lalu, tentang ancaman yang dihadapi tujuh ibu kota negara di Asia Timur, termasuk Jakarta, pada 2030.
Kajian itu menyitir sejumlah studi serupa yang menyatakan bahwa ibu kota Indonesia yang memiliki ketinggian rata-rata 8 meter di atas permukaan laut dan dialiri 13 sungai tersebut rawan banjir karena masalah drainase.
Setiap tahun Jakarta juga diterjang banjir akibat hujan lebat, debit sungai yang tinggi, dan rob. Pengambilan air tanah yang berlebihan berkontribusi terhadap penurunan muka tanah.
Menurut Greenpeace, berdasarkan analisis data spasial dan skenario terburuk, hampir 17 persen dari total luas daratan Jakarta yang berada di bawah permukaan air laut akan terendam bila terjadi banjir 10 tahunan pada 2030.
Jakarta bagian utara adalah daerah yang akan paling terkena dampak, termasuk Monumen Nasional dan Balai Kota Jakarta, yang berada di Jakarta Pusat.
Kenaikan air laut yang ekstrem itu berdampak pada 1,8 juta orang dan dapat membahayakan sebesar US$ 68,2 miliar dari total produk domestik regional bruto (PDRB) Jakarta.
Tata Mustasya, Kepala Kampanye Iklim Greenpeace Asia Tenggara, mengatakan temuan terbaru ini menunjukkan bahwa perubahan iklim bukan semata soal lingkungan. Implikasinya juga langsung ke manusia dan ekonomi.
“Yang lebih mengerikan dari proyeksi ini, ada 1,8 juta saudara kita yang mungkin akan mengungsi karena rumah mereka terendam oleh kenaikan permukaan air laut,” kata Tata, Selasa, 13 Juli lalu.
Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi mengatakan hampir seluruh pesisir Jakarta akan terkena dampak kenaikan air laut.
Dia menyebutkan, tenggelamnya Masjid Wall Adhuna di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, yang kini berada di luar tanggul pantai Jakarta, adalah salah satu contoh nyata.
Tubagus menyatakan banyak faktor yang menenggelamkan Jakarta. “Meningginya permukaan air laut, turunnya permukaan tanah, tutupan lahan di pesisir yang dibebani kawasan industri, itu mempengaruhi,” ucapnya, Jumat, 16 Juli lalu.
Peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Laely Nurhidayah, menilai kenaikan muka air laut adalah masalah yang dihadapi Jakarta.
Dia menyitir studi Intergovernmental Panel on Climate Change 2019 bahwa kenaikan permukaan laut akhir dekade berkisar 0,29-1 meter itu masih kategori moderat.
“Jakarta sama seperti Semarang, punya masalah penurunan permukaan tanah. Hal ini memperberat dampak dari kenaikan permukaan laut,” katanya, Rabu, 21 Juli lalu.
Menurut Laely, banyak industri di Jakarta yang mengambil air tanah dan penegakan hukumnya kurang. Pada saat yang sama, penyediaan air dari permukaan sangat tidak memadai untuk kebutuhan industri dan rumah tangga.
Solusi yang dilakukan melalui pembangunan tanggul pantai raksasa (giant sea wall) juga banyak dikritik.
“Banyak akademikus mengatakan itu hanya menangani naiknya permukaan air laut, tidak menyelesaikan soal penurunan tanah,” tuturnya.