JAKARTA – Defisit perdagangan RI terhadap China mencapai US$3,19 miliar pada semester I 2021. Ini merupakan angka terendah sejak ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) atau perjanjian perdagangan bebas China dengan negara ASEAN ditandatangani pada 2002 silam.
“Meski China masih menunjukkan negatif US$3,19 miliar pada semester I 2021 ini, tetapi ini angka yang paling rendah sejak ditandatanganinya ACFTA,” ujar Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam konferensi pers Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kuartal II-2021.
Sampai Juni 2021, tercatat ekspor Indonesia ke China mencapai US$22,45 miliar. Sedang, nilai impornya lebih tinggi, yaitu US$25,63 miliar, sehingga terjadi defisit US$3,19 miliar.
Sebetulnya, ia menuturkan defisit perdagangan dengan China pernah menyentuh angka US$16 miliar. Namun, apabila kinerja ini bisa terus dijaga, maka ia meyakini defisit perdagangan dapat menyentuh posisi terendah dalam 10 tahun terakhir di semester II mendatang.
Pasalnya, China merupakan negara utama tujuan ekspor RI dengan porsi terhadap ekspor 21,82 persen. Sekaligus, negara importir utama dengan porsi 28,16 persen dari total impor.
“Kalau ini konsisten sampai dengan semester II-2021, maka defisit neraca perdagangan kita akan menjadi yang terendah mungkin dalam 9-10 tahun terakhir,” imbuh dia.
Selain China, Indonesia mengalami defisit dagang dengan Australia sebesar US$2,61 miliar, yang merupakan defisit terbesar kedua. Disusul oleh Singapura, yakni US$2 miliar.
Namun, Indonesia berhasil meraup surplus perdagangan dengan AS senilai US$6,55 miliar yang menjadi surplus dagang tertinggi.
“Artinya ini tumbuh baik karena tahun lalu surplus kita dengan AS adalah US$10 miliar. Kalau ini konsisten angkanya sama dengan semester I, kita akan mendapat pertumbuhan 30 persen surplus dengan AS,” terang dia.
Selanjutnya, Indonesia juga mengalami surplus dagang dengan Filipina US$3,29 miliar dan India US$2,14 miliar. Namun, Lufti mengaku khawatir terhadap kondisi perdagangan dengan India akibat lonjakan kasus covid-19 di negara tersebut.
“India yang salah satunya kami anggap berbahaya karena penanganan covid di sana belum terlaksana dengan baik,” tandasnya.