JAKARTA – Sejumlah netizen mengecam pernyataan Wakil Presiden (Wapres) KH Ma’ruf Amin. Kiai Mar’uf dinilai merendahkan umat karena mengatakan bahwa meninggalnya satu suku lebih ringan daripada meninggalnya seorang ulama.
Juru Bicara (Jubir) Wapres KH Masduki Baidlowi menerangkan, persepsi dan amplifikasi sebagian netizen pada pernyataan Kiai Mar’uf tentang wafatnya ulama dengan ilustrasi perbandingan wafatnya satu kabilah, banyak disalahpahami.
Seakan wapres tak menghargai meninggalnya warga dari satu suku atau kabilah.
“Pernyataan wapres yang mengutip hadis riwayat Al-Thabrani itu bukan dengan intensi merendahkan siapapun. Sekali lagi, itu kutipan hadis. Bukan pernyataan pribadi Wapres,” kata Cak Duki, sapaan akrab Masduki Baidlowi kepada RM.id, Senin (9/8).
Kata Cak Duki, hadis itu dikutip dan diterjemahkan wapres apa adanya, tanpa ditambah-tambahi. Namun, pengutipan hadis itu perlu dipahami dalam konteks sambutan wapres yang lebih utuh.
Konteksnya adalah untuk memberi gambaran tentang betapa dalamnya rasa kehilangan dengan wafatnya ulama.
“Ulama adalah kata jamak dari alim. Artinya, orang yang berilmu sangat luas dan menjadi penyuluh bagi masyarakat sekitarnya,” tambah Cak Duki.
Cak Duki menyatakan, Wapres saat itu tengah memberi apresiasi program Baznas bertajuk Kita Jaga Kiai. Kiai adalah sebutan untuk ulama di Indonesia.
Ulama itu figur berilmu. Dalam sambutan itu, wapres tidak membatasi ahli ilmu hanya pada bidang agama, tapi juga ilmuwan dan cendekiawan secara luas.
“Dalam beberapa bulan terakhir, banyak kyai, ulama, pengasuh pesantren, cendekiawan, ilmuwan Indonesia yang meninggal dunia,” kata Wapres ditirukan Cak Duki.
Karena dalam acara Baznas, yang mengelola dana sosial Islam, yakni zakat, infak dan sedekah, wapres merujuk perspektif Islam tentang musibah wafatnya ilmuwan, para ahli ilmu, para alim, dan ulama.
Wapres menguraikan peran penting ulama dalam tiga aspek yakni keagaman, peradaban, dan kebangsaan.
Dari sisi keagamaan, ulama adalah pewaris para nabi. Dari sisi peradaban, ulama berperan dalam transformasi ilmu dan peradaban.
Dari sisi kebangsaan, ulama mengajarkan sikap patriotik, cinta tanah air, bela negara, dan perjuangan kemerdekaan.
Para kiai dan ulama sebagai pewaris para nabi telah mentransformasikan ilmu dan peradaban, menjaga, mendidik dan melakukan berbagai perbaikan di segala bidang.
“Para kiai dan ulama juga mengajarkan sikap patriotik, cinta tanah air, hubbul wathan, dan bela negara. Jasa dan peran besar para kyai, para ulama dan pondok pesantren terhadap perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa sangat besar. Tidak bisa dihargai dengan sekadar materi,” sebut Cak Duki.
Untuk memperkuat narasi tersebut, wapres mengutip hadis berikut HR Al-Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda yang berbunyi “Meninggalnya seorang ulama adalah musibah yang tak tergantikan, sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal, laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih ringan dari meninggalnya satu orang ulama.”
“Nada dan intensi hadis itu bukan untuk merendahkan wafatnya orang satu kabilah. Kalimat itu perlu dipahami sebagai ungkapan ilustratif, kiasan, atau amtsal,untuk menghargai sosok ulama dan ilmuwan di tengah masyarakat,” terang Cak Duki.
Wafatnya orang satu suku atau satu kabilah jelas sebuah musibah besar, sebuah kehilangan besar, dan wafatnya seorang ulama adalah musibah yang lebih besar.
“Demikian pemaknaannya. Jadi, sama sekali bukan untuk merendahkan peristiwa wafatnya orang satu suku. Jangankan kehilangan nyawa satu suku, dalam Islam, kehilangan satu nyawa saja adalah sebuah catatan serius. Tidak mungkin direndahkan. Maka satu dari lima tujuan utama syariah atau maqashidus syari’ah adalah menjaga jiwa, hifdhun nafs,” papar Cak Duki.
Cak Duki menutup keterangannya dengan Surat Al Maidah Ayat 32 yang menyatakan, siapa yang membunuh satu orang secara tidak sah, setara dengan membunuh seluruh manusia.
“Menghargai nyawa manusia adalah tujuan dasar dari agama Islam,” tandasnya. (WE)