JAKARTA – Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) menilai putusan Dewas KPK terlalu lembek terhadap Wakil Ketua KPK Lili Pintauli yang terbukti melanggar kode etik.
Lili dijatuhi sanksi pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan usai terbukti melanggar kode etik KPK berhubungan dengan pihak yang berperkara dengan lembaga antirasuah tersebut.
“Sanksi ini sangat ringan, apalagi hanya pemotongan gaji pokok. Sebagai informasi, gaji pokok wakil ketua KPK hanya bagian kecil dari total penghasilan yang diterima setiap bulan,” kata Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman, Senin (30/8/2021).
Zaenur merincikan, gaji pokok Wakil Ketua KPK berkisar Rp4,6 juta sementara untuk THP (take home pay) sekitar Rp89 juta perbulannya. Menurutnya, potongan gaji pokok tidak banyak berpengaruh terhadap pengahasilan bulanan.
Semestinya sanksi yang layak dan tepat dijatuhkan kepada Lili adalah diminta mengajukan pengunduran diri sebagai Pimpinan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat 4 huruf b Perdewas 02/2020.
“Lili tidak pantas lagi menjabat sebagai pimpinan KPK karena telah menyalahgunakan kewenangan yakni berhubungan dengan pihak berperkara,” katanya.
Tak hanya melanggar kode etik, menurut Zaenur, perbuatan Lili merupakan perbuatan pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 36 UU 30/2002 jo Uu 19/2019 tentang KPK.
Pasal tersebut, kata Zaenur, melarang pimpinan KPK berhubungan dengan pihak berperkara dengan alasan apapun. Berdasarkan Pasal 65 UU KPK, pelanggaran atas ketentuan tersebut diancam pidana maksimal 5 tahun bui.
“Mengapa berhubungan dengan pihak berperkara menjadi perbuatan terlarang di KPK? Karena dapat menjadi pintu masuk jual beli perkara atau pemerasan oleh insan KPK,” ucapnya.
Dia mengambil contoh yang pernah dilakukan eks penyidik KPK Ajun Komisaris Polisi (AKP) Suparman atau eks penyidik KPK AKP Stepanus Robin Pattuju.
Menurutnya, perkara menjadi rawan bocor kepada pihak luar jika ada hubungan antara insan KPK dengan pihak yang berperkara.
Imbasnya, KPK akan kesulitan menangani perkara tersebut. Bahkan perkara bisa berujung gagal diusut.
“Putusan lembek oleh Dewas ini bisa berakibat buruk bagi KPK. Pertama, akan semakin menggerus kepercayaan publik terhadap KPK,” ujar Zaenur.
Zaenur beranggapan nama-nama besar yang didapuk jadi Dewas tidak menjamin akan menerapkan prinsip zero tolerance terhadap pelanggaran di internal KPK.
“Putusan lembek oleh Dewas ini menunjukkan sikap permisif dan toleran di internal KPK. Ke depan insan KPK tidak akan terlalu takut lagi melakukan pelanggaran, karena Dewas tidak keras terhadap pelanggaran,” sebutnya.
Pihaknya berharap ke depan akan ada pihak masyarakat yang bersedia melaporkan dugaan pelanggaran pasal 36 UU KPK kepada aparat penegak hukum untuk diproses secara pidana.
Majelis Etik Dewan Pengawas KPK menyatakan Lili terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku berupa penyalahgunaan pengaruh untuk kepentingan pribadi dan berhubungan langsung dengan pihak berperkara.
Ia dinilai terbukti melanggar Pasal 4 ayat 2 huruf b dan Pasal 4 ayat 2 huruf a Peraturan Dewan Pengawas KPK RI Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
Lili dinilai terbukti memanfaatkan posisinya sebagai pimpinan KPK untuk menekan M. Syahrial guna pengurusan penyelesaian kepegawaian adik iparnya Ruri Prihatini Lubis di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kualo Tanjungbalai.