INDONESIA akan menghadapi dua resiko besar jika memutuskan untuk tidak memperpanjang moratorium sawit.
Selain terancam menghadapi pelemahan harga sawit dan ekspor, Indonesia harus berhadapan dengan kecaman dunia internasional terutama aktivis lingkungan hidup.
Andrian Bagus Santoso, Industry Analyst Bank Mandiri, mengatakan perpanjangan moratorium akan menguntungkan Indonesia karena kebijakan tersebut bisa semakin melambungkan harga sawit.
Perpanjangan akan menjadi sentimen penopang harga CPO yang kini masih tinggi.
“Kalau diperpanjang kan ke depan supply nya relatif terjaga karena tidak ada perkebunan besar yang ditambah atau dibuka,” tutur Andrian, Selasa (21/9).
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo menginstruksikan moratorium sawit melalui Inpres Nomor 8 Tahun 2018.
Aturan tersebut memerintahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk melakukan penundaan pelepasan atau tukar-menukar kawasan hutan perkebunan kelapa sawit.
Pemberlakuan peraturan tersebut berakhir pada 19 September. Namun, hingga kini pemerintah belum mengeluarkan kepastian apakah moratorium berlanjut atau tidak.
Indonesia merupakan produser dan eksportir terbesar sawit di dunia. Nilai ekspor sawit akan sangat menentukan besaran ekspor secara keseluruhan.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor lemak dan minyak hewan/nabati, di mana mayoritasnya merupakan CPO, pada Agustus mencapai US$4,05 miliar, naik 61,6% dibandingkan bulan sebelumnya.
Besarnya ekspor CPO melambungkan ekspor Indonesia secara keseluruhan di bulan Agustus yakni US$21,42 miliar, rekor tertinggi dalam sejarah Indonesia.
Selama periode Januari-Agustus, ekspor kelompok tersebut menembus US20,64 miliar atau naik 70% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Kalau aturan itu diperlonggar seperti semula. Saya rasa itu akan menjadi sentimen negatif ke harga. Harga akan terkoreksi karena ke depannya supply akan bertambah,”tambah Adrian.
Menurut data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), harga CPO untuk pengiriman bulan November berada di kisaran US$1.200/metrik ton.
Harga ini jauh lebih tinggi dibandingkan November 2020 yang berada di kisaran US$800/metric ton.
Harga CPO sempat terkoreksi ke level US$500/metrik ton setelah pandemi Covid-19 melanda dunia di Maret. Namun, harga kembali naik memasuki kuartal III tahun 2020.
Harga sawit diperkirakan akan merangkak lagi menjelang November mengingat India sebagai importir terbesar akan merayakan Diwali dan negara-negara Eropa akan memasuki musim dingin.
Senada dengan Andrian, kepala ekonom PT Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro juga mengingatkan harga CPO bisa terkoreksi jika pemerintah memutuskan untuk tidak memperpanjang moratorium.
Tidak diperpanjangnya moratorium berarti Indonesia mengirimkan sinyal kepada dunia bahwa mereka siap untuk menambah pasokan CPO. Dengan pasokan yang semakin banyak maka harga bisa kembali turun.
Padahal, harga yang tinggi bisa menjadi penopang kehidupan bagi sekitar empat juta pekerja di sektor tersebut. Harga CPO yang tinggi juga akan menguntungkan Indonesia karena bisa mendongkrak devisa.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia memperkirakan sumbangan devisa sawit ke Indonesia mencapai US$20 miliar pada tahun 2020.
“Padahal, CPO sudah menjadi jangkar bagi neraca perdagangan dan (stabilitas) rupiah di tengah kekhawatiran Taper Tantrum. Industri CPO juga memegang kunci dalam pemulihan ekonomi karena menghidupi empat juta pekerja,” tutur Satria.
Satria memperkirakan Indonesia akan melanjutkan moratorium sawit karena sejumlah alasan.
Selain persoalan harga, Indonesia akan menghadapi kritikan pedas dari dunia internasional, terutama aktivis lingkungan jika moratorium tidak diperpanjang.
“Indonesia tengah menghadapi isu lingkungan hidup terutama dengan Amerika Serikat dan Eropa. Mengizinkan dibukanya kembali perizinan bisa memicu reaksi internasional,”tuturnya.
Adrian berharap pemerintah segera mengambil keputusan untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan moratorium sawit. Kepastian diperlukan oleh dunia usaha hingga eksportir.
Dia juga berharap pemerintah lebih fokus untuk mengevaluasi hasil dari moratorium yang sudah berlangsung selama tiga tahun. Menurutnya, masih banyak pekerjaan rumah yang belum diperbaiki selama moratorium berjalan.
“Kalau tujuannya belum tercapai ya sebaiknya dilanjutkan. Dilihat lagi apakah dengan moratorium tata kelola menjadi lebih baik. Konsekuensinya dilihat lagi jika tidak dilanjutkan,” katanya