KRISIS energi yang membelit Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya membuktikan bahwa momentum pandemi tidak bisa serta merta menjadi game changer untuk beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan.
Harga gas alam melambung tinggi. Bahkan sejak Januari 2021, harga gas alam sudah naik 250%. Penyebabnya tentu dinamika permintaan dan penawaran.
Dari sisi permintaan terkerek naik karena ekonomi berangsur membaik setelah pelonggaran pembatasan sosial diberlakukan. Faktor lain yang mengerek permintaan adalah datangnya musim dingin.
Namun dari segi pasokan, suplai menjadi terbatas karena disebabkan oleh beberapa hal mulai dari penghentian fasilitas produksi di AS, hingga adanya isu manipulasi perusahaan gas Rusia Gazprom untuk mendongkrak harga.
Apabila dilihat lebih jauh sebenarnya wajar jika harga gas mengalami kenaikan. Komoditas energi memang tergolong siklikal. Saat Covid-19 lockdown membuat produksi energi dipangkas.
Namun setelah dilonggarkan kebutuhan energi meningkat pesat tetapi produksi belum benar-benar pulih karena adanya berbagai faktor seperti cuaca hingga disrupsi rantai pasok.
Semua harga energi fosil mengalami kenaikan, mulai dari minyak mentah, batu bara hingga gas. Ketiga sumber energi ini harganya berkorelasi positif. Sehingga akan saling berpengaruh satu sama lain.
Secara umum Eropa dan Inggris memang lebih condong ke gas daripada batu bara sebagai sumber energi untuk pembangkit listriknya. Hal ini dikarenakan emisi karbon yang lebih rendah.
Namun di saat harga gas melambung tinggi, spread antara gas dan batu bara melebar, membuat para produsen cenderung beralih dari gas ke batu bara karena ongkosnya lebih murah.
Ini menjadi potret bahwa transisi perpindahan dari energi fosil ke energi yang lebih ramah lingkungan tidak semudah itu dijalankan.
Inggris sendiri dengan adanya krisis gas yang mengakibatkan kelangkaan makanan lebih memilih untuk kembali menggunakan batu bara.
Hal ini diakui perusahaan pembangkit listrik, Drax, Kamis (23/9/2021). Ketergantungan pada gas alam yang harganya naik dua kali lipat sejak Mei, membuat otoritas mengambil jalan ini sebagai solusi listrik tetap menyala bagi warga.
“Fasilitas ini (PLTU) telah memenuhi peran penting dalam menjaga lampu warga agar tetap menyala saat sistem energy berada di bawah tekanan yang cukup besar,” kata Drax dalam sebuah pernyataan ke AFP, Jumat (24/9/2021).
Drax memiliki PLTU terbesar di negara itu. Terletak di Yorkshire Inggris Utara.
“Kami sadar, negara ini mungkin memiliki masalah mendesak sekarang dan jika ada sesuatu yang dapat dilakukan Drax, kami akan melakukannya,” tegas Chief Executive Will Gardiner kepada Financial Times.
Well, kisah yang terjadi di Inggris telah menunjukkan bahwa memanfaatkan momentum pandemi Covid-19 untuk mendorong penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan bukanlah hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan. CNBC INDONESIA