Jakarta – Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, menduga keluarga Bakrie merupakan salah satu pihak yang paling diuntungkan terhadap meroketnya harga acuan batu bara hingga menembus US$ 206,25 di pasar ICE Newcastle (Australia). Bakrie melalui perusahaannya, PT Bumi Resources Tbk, disinyalir mendulang keuntungan berlipat.
“Bumi Resources jika digabung dengan PT Arutmin Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal (anak usaha BUMI) mencapai 100 juta ton,” ujar Ferdy, Sabtu (2/10).
Ferdy menyebut kenaikan harga batu bara akan mendongkrak pendapatan emiten yang sempat lesu akibat pandemi Covid-19. Harga acuan batu bara yang volatil sebelumnya sempat membawa komoditas ini merosot di level US$ 50-an per metrik ton pada 2020.
Menurut Ferdy, kembali moncernya industri batu bara seharusnya menjadi momentum bagi keluarga Bakrie untuk menuntaskan utang-utangnya. “Kita berharap dengan kenaikan harga batu bara, Bakrie bisa bayar utang dan bayar tunggakan pajak yang bertahun-tahun belum dibayar.”
Apalagi baru-baru ini, dua nama anggota keluarga Bakrie, yakni Nirwan Dermawan Bakrie dan Indra Usmansyah Bakrie, dipanggil sebagai debitur Bank Putera Multikarsa yang diperkirakan menunggak dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 22,7 miliar. Bakrie juga diketahui masih memiliki utang kepada pemerintah untuk dana talangan Lapindo.
Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya mesti mengembalikan uang negara sebesar Rp 1,91 triliun. Utang itu termasuk pokok, bunga, dan denda.
Dihubungi terpisah melalui pesan instan, Direktur dan Sekretaris Perusahaan Bumi Resources Dileep Srivastava tidak menjawab soal pertanyaan dampak harga meroketnya batu bara terhadap perusahaan Bumi Resources milik Bakrie.
Ia hanya mengirimkan link situs berita yang menyebut bahwa anak usaha emiten BUMI, Kaltim Prima Coal, baru saja memperoleh penghargaan The Most Sustainable Mining Company 2021.