KINI harga sejumlah komoditas memang tengah melonjak, baik minyak, gas, batu bara, hingga minyak sawit (CPO).
Namun, ada satu komoditas yang harganya meledak paling tinggi di antara komoditas lainnya, dia adalah batu bara.
Sejak akhir 2020 (year to date), harga batu bara telah meroket 188,7%. Kini harganya telah menembus US$ 200 per ton, bahkan dua hari lalu sempat hampir US$ 300 per ton, dibandingkan pada awal tahun yang masih berada di kisaran US$ 80 per ton.
Pada perdagangan kemarin, Rabu (06/10/2021), harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) tercatat mencapai US$ 236 per ton, anjlok 15,71% dibandingkan hari sebelumnya yang mencapai US$ 280 per ton. Meski anjlok, tetap saja harganya masih membubung di atas US$ 200 per ton, tertinggi bahkan setidaknya sejak 2008 lalu.
Kenaikan harga batu bara ini bahkan telah berdampak pada meningkatnya kekayaan Taipan asal Singapura yang memiliki tambang batu bara di Kalimantan, Low Tuck Kwong. Mengutip Forbes, kekayaan pendiri dan pemilik saham PT Bayan Resources Tbk (BYAN) ini dikabarkan melonjak hingga Rp 12,87 triliun dalam 10 hari.
Berdasarkan data real time billionaire, pada 20 September 2021 lalu Low Tuck Kwong tercatat sebagai taipan terkaya nomor 16 di Indonesia dengan total kekayaan mencapai US$ 1,20 miliar atau setara dengan Rp 17,16 triliun.
Lantas, bagaimana dengan negara? Apakah lonjakan harga komoditas, terutama batu bara ini berdampak signifikan pada peningkatan pendapatan dan pengurangan utang RI?
Berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, realisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batu bara hingga Rabu (6/10/2021), tercatat telah menembus Rp 49,84 triliun.
Jumlah penerimaan ini bahkan telah melampaui target satu tahun penuh yang direncanakan sebesar Rp 39,1 triliun. Artinya, realisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan minerba telah mencapai 127,45% dari target tahun ini.
Adapun dari total penerimaan negara dari sektor minerba tersebut, sekitar 75-80% berasal dari batu bara saja. Dengan demikian, penerimaan negara dari batu bara sampai saat ini telah mencapai sekitar Rp 40 triliun.
Dari jumlah tersebut terlihat memang bahwa kenaikan harga batu bara tidak berdampak signifikan pada upaya RI menurunkan utang. Bahkan, posisi utang RI masih terus bertambah per bulannya.
Kementerian Keuangan melaporkan hingga akhir Agustus 2021, posisi utang pemerintah mencapai Rp 6.625,43 triliun atau setara dengan 40,85% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Dalam buku APBN Kita edisi September 2021, dijelaskan utang pemerintah pada Agustus 2021 malah bertambah sebesar Rp 55,27 triliun jika dibandingkan dengan posisi Juli 2021.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kenaikan utang Indonesia terutama disebabkan adanya kenaikan utang dari Surat Berharga Negara (SBN) domestik sebesar Rp 80,1 triliun, sementara utang SBN dalam valuta asing mengalami penurunan Rp 15,42 triliun.
Tidak terlalu berdampaknya kenaikan harga komoditas pada utang RI ini juga diamini oleh Ekonom INDEF Abra Talattov.
Abra menilai, kenaikan harga batu bara pada kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah sebuah “given”, namun tidak akan bisa membantu meringankan beban APBN atau beban utang negara.
“Kenaikan harga komoditas ini belum signifikan untuk membantu meringankan beban APBN atau beban utang. Kenaikan harga batu bara pada realisasi PNBP ini sifatnya given, hanya menunggu saja sejauh mana fluktuasi harga. Apalagi PNBP nggak lebih besar daripada penerimaan pajak,” tuturnya, dikutip Kamis (07/10/2021).
“Secara langsung ini belum signifikan ke penurunan utang, karena PNBP minerba sampai 6 Oktober masih Rp 49 triliun dibandingkan utang kita ini masih relatif gak seberapa,” lanjutnya.
Dia mengatakan, lonjakan harga batu bara ini seharusnya bisa dijadikan momentum pemerintah untuk menerapkan windfall profit tax alias pajak tambahan karena meledaknya harga komoditas di atas harga tertentu.
Bila hanya mengandalkan PNBP, maka menurutnya ini tidak akan signifikan karena jenis-jenis penerimaan negara bukan pajak untuk sektor pertambangan telah diatur, seperti iuran tetap, besaran royalti, dan lainnya, sehingga tidak akan berpengaruh signifikan.
“Pemerintah bisa mulai exercise apakah mungkin menerapkan windfall profit tax karena ada kondisi extraordinary dalam satu sektor, terdapat peningkatan di luar ekspektasi, sehingga penerimaan negara menjadi lebih maksimal,” tuturnya.
“Dengan regulasi existing ini belum berdampak signifikan pada pengurangan utang pemerintah,” imbuhnya. (CNBC)