KRISIS energi yang dialami beberapa negara akhirnya juga ikut mengancam Amerika Serikat (AS). Hal ini terlihat dari persediaan gas untuk musim dingin yang terbatas di negara adidaya itu.
Chief Executive Officer Xcoal Energy & Resources LLC, Ernie Thrasher, mengatakan beberapa perusahaan utilitas saat ini cemas kekurangan bahan bakar benar-benar terjadi pada musim dingin ini. Hal itu bisa memicu pemadaman.
“Utilitas khawatir aset yang mereka miliki tidak bisa mendapatkan bahan bakar yang cukup,” kata Thrasher dalam sebuah wawancara sebagaimana ditulis Bloomberg.
“Ada orang-orang dengan otoritas tinggi di perusahaan utilitas besar yang sangat prihatin.”
Beberapa perusahaan telah berencana untuk menaikkan tarif. Perusahaan Gas Alam Piedmont Duke mengatakan bahwa harga gas yang tinggi dan produksi yang rendah akan menaikkan tagihan pelanggan sekitar US$ 11 per bulan di Carolina Utara dan Selatan.
Di Colorado, Xcel Energy juga akan melakukan hal serupa. Sementara itu, beberapa perusahaan telah beralih ke batu bara untuk menutupi defisit ini.
Secara general diperkirakan akan ada kenaikan konsumsi bahan bakar batu bara hingga 23% tahun ini. Padahal hal tersebut bertentangan dengan komitmen AS terhadap “emas hitam”.
Sebelumnya, Presiden AS Joe Biden menekankan janjinya dalam investasi sebesar US$ 2 miliar (Rp 28 triliun) untuk mendukung negara-negara berkembang agar beralih dari pembangkit listrik tenaga batu bara.
“Kami akan fokus pada percepatan kemajuan pada elektrifikasi dan baterai, hidrogen, penangkapan karbon, penggunaan dan penyimpanan, penerbangan dan pengiriman nol emisi, dan bagi negara-negara yang memilih untuk menggunakannya, tenaga nuklir,” ucap Biden dan pemimpin negara G7 lainnya dalam KTT Juni lalu.