JAKARTA – Persoalan bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng mendapat sorotan dari Achmad Nur Hidayat MPP, Pakar Kebijakan Publik dan Ketua Pusat Studi Ekonomi Politik UPN Veteran Jakarta.
Di satu sisi, ia mengapresiasi langkah ini lantaran harga minyak goreng saat ini dilepas pada mekanisme pasar sehingga subsidi yang bersifat langsung menyasar target tertentu terbilang tepat. Kendati demikian, kebijakan ini bukan sesuatu yang sifatnya dapat terus berlangsung secara berkelanjutan.
“Saat ini mulai digulirkan BLT Minyak Goreng dengan besaran Rp300 ribu untuk tiga bulan kepada masyarakat. Ini patut diapresiasi karena untuk kondisi saat ini di mana harga minyak goreng dilepas pada mekanisme pasar, targeted subsidi lebih tepat. Permasalahannya adalah distribusi harus tepat sasaran. Namun, pertanyaannya sampai kapan?” kata Achmad pada Senin (10/4/2022).
Dia kemudian berpindah pada situasi di kalangan masyarakat dan UMKM yang menggunakan minyak goreng berbahan sawit (crude palm oil) sebagai bahan utama. Menurutnya, konsumsi terhadap komoditas terbesar Indonesia ini sulit digantikan dengan minyak goreng jenis lain yang harganya jauh lebih mahal.
Di sisi lain, tak ada jaminan ke depan mengenai harga minyak goreng yang mungkin masih akan terjadi fluktuasi.
“Kita tidak akan pernah tahu berapa tingkat harga ke depan sehingga dikhawatirkan harga minyak goreng makin tidak terkendali,” imbuhnya.
Aspek mengganjal lainnya, kata Achmad, adalah fakta bahwa minyak goreng tidak termasuk bahan pangan yang menjadi tanggung jawab Badan Pangan Nasional merujuk Peraturan Presiden Nomor 66 tahun 2021. Padahal, jika dimasukkan secara spesifik agar terpisah dari CPO untuk penggunaan industri, pengendalian harga minyak goreng ini akan lebih mudah untuk dilakukan.
Terlebih, bila mengingat kekuasaan yang dimiliki oleh presiden, seyogianya pemimpin negara ini dapat menginstruksikan untuk memproduksi minyak goreng yang ditangani oleh BUMN dari hulu sampai hilir sehingga negara bisa mempunyai stok untuk mengendalikan harga.
“Walaupun kebijakan ini tentu akan sangat mengganggu bagi produsen-produsen yang sudah ada, ini adalah langkah yang tepat karena selain negara dapat mengendalikan harga, negara juga akan mendapatkan pendapatan yang bisa digunakan untuk membiayai program kerja pemerintah,” tutur dia.
Dengan skema ini, surplus yang didapatkan tahun lalu dari sektor minyak kelapa sawit tidak hanya akan dinikmati oleh swasta, tetapi negara juga akan mendapatkan pemasukan selain dari pajak yang dikenakan kepada produsen CPO.
“Tentunya jika pemerintah mempunyai will yang kuat untuk menyejahterakan masyarakat, ini bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Dengan anggaran senilai BLT migor, tentunya dapat membiayai pembangunan dan modal kerja BUMN yang khusus memproduksi CPO dari hulu sampai hilir,” tutup Achmad.