“Wow keren. Hebat ya, bisa kuliah di luar negeri.”
Berikut ini jawabannya.
Saya awali dengan contoh kasus sebagai ilustrasi. Beberapa tahun lalu saya sempat berbeda pendapat dengan seorang professor (tamatan Barat) di kampus saya saat dia mengatakan bahwa tamatan Malaysia itu tidak dianggap alumni luar negeri dengan nada merendahkan.
Pernyataan itu disampaikan di forum akademik yang dihadiri oleh ratusan dosen. Beberapa alumni Malaysia kemudian meradang.
Sampai-sampai Perhimpunan Alumi Malaysia (PAM) Cabang Jambi harus turun tangan. Namun, demi kemaslahatan bersama, dilakukan komunikasi untuk mencari solusi. Dimaafkan walau tetap jadi catatan sejarah.
Persoalannya, mengapa saya tidak setuju dengan pernyataan itu? Bukan karena alumni Malaysia tidak dianggap, tapi ada kesan yang ingin disampaikan bahwa tamatan luar negeri itu hanya mereka yang alumni Barat. Masak iya?
Tidak hanya karena kejadian itu, sebenarnya sejak lama saya juga sudah concern terhadap persoalan ini. Saya agaknya beda pendapat jika ada yang mengatakan bahwa tamatan luar negeri lebih hebat, lebih bagus, lebih wow. Pandangan semacam ini menurut saya (anda boleh berbeda) agak terlalu menjeneralisir.
Faktanya, ada dosen yang tamatan luar negeri tapi biasa-biasa saja. Di sisi lain, ada yang tamat dalam negeri, kampus tidak terkenal, tapi kiprah dan kontribusinya luar biasa.
Jika begitu, mari kita diskusikan. Pertama, harus dicatat bahwa ijazah itu (S1, S2, dan S3) adalah selembar kertas bukti administrasi bahwa seseorang telah menyelasikan pendidikannya di level tertentu setelah melewati berbagai syarat akademis (diatur oleh undang-undang yang berlaku).
Sekali lagi, bukti administratif dengan alat ukur akademis. Bagi saya, ijazah itu baru berupa bahan mentah yang belum memberikan nilai apa pun.
Kedua, ijazah itu akan bernilai ketika dimanfaatkan untuk berkiprah dan berkontribusi. Dengan kata lain, ijazah itu hanyalah tiket untuk memberikan manfaat dirinya buat orang lain.
Jadi, nilainya sudah bergeser dari yang bersifat administratif menjadi kontributif. Pertanyaannya bukan lagi tamatan mana, tapi bisa berbuat apa. Bisa memberikan apa. Seberapa besar manfaat dirinya. Dan seterusnya.
Ketiga, kiprah dan kontribusi. Menurut saya inilah yang harus menjadi titik beratnya agar kita tidak terjebak pada dekotomi tamatan luar dan dalam negeri.
Kualitas kita (terutama dosen) tidak semata ditentukan oleh tamatan mana, tapi lebih kepada bisa berkontribusi apa.
Masing-masing kita harus terus berlomba-lomba memperbesar kontribusi untuk kemaslahatan ummat manusia di muka bumi ini sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi (pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat).
Keempat, mempersoalkan (apa lagi dengan melakukan stereotyping) tamatan dalam dan luar negeri yakinlah tidak akan mendatangkan manfaat, boleh jadi akan menimbulkan kemudharatan.
Persoalan kuliah di dalam dan di luar negeri itu hanyalah semata kesempatan yang Allah berikan (tanpa mengabaikan segala usaha dan perjuangan yang dilakukan).
Ada orang yang Allah izinkan menuntut ilmu di luar, ada pula yang menurut Allah di dalam negeri lebih baik baginya.
Akhirnya, yakinlah bahwa setiap jengkal permukaan bumi Allah ini adalah tempat terbaik untuk berbuat kebaikan termasuk dalam hal menuntut ilmu.
Jika begitu, di dalam dan di luar negeri itu sama saja selagi bisa berkontribusi dalam kebaikan dan tidak ada yang boleh merasa lebih (juga merasa rendah) dari yang lainnya.
Ukurannya cuma satu, seberapa besar kontribusinya dalam kebaikan. Semoga!