NEGARA Singapura dilaporkan tengah mengalami ‘resesi seks’ lantaran rendahnya angka perkawinan yang berimbas pada anjloknya tingkat kelahiran warganya.
Pada 2021, misalnya, angka kelahiran di negara tersebut hanya mencapai 1,12 bayi per wanita.
Adapun, jumlah ini sangat rendah jika dibandingkan dengan rata-rata global yang berkisar di angka 2,3.
Kondisi ini lantas membuat pemerintah melakukan sejumlah upaya guna menggenjot tingkat perkawinan di Negeri Singa.
Salah satunya dengan menawarkan insentif uang tunai ‘bonus bayi’ untuk menambah semangat warga negara tersebut memiliki anak.
Bahkan, Singapura berencana mengizinkan para wanita lajang untuk membekukan sel telurnya mulai tahun depan. Ini membuka kemungkinan bagi para wanita untuk hamil sekalipun saat tubuhnya tak lagi memproduksi sel telur.
Melansir dari McKinsey & Company, resesi seks ini juga akan berdampak pada kegiatan ekonomi. Resesi seks dapat menghasilkan sebuah kondisi yang dinamakan lonely economy.
Sebutan ini merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan kegiatan ekonomi yang didorong oleh masyarakat yang cenderung hidup menyendiri. Bahkan, data Statista, rata-rata jumlah orang dalam sebuah rumah tangga terus menyusut.
Sebaliknya, rumah tangga berisi satu orang, atau yang melajang, makin banyak. “Pergeseran demografis yang signifikan ini mengubah pola permintaan,” tulis Mckinsey yang dikutip CNBC Indonesia, Rabu (4/5/2022).
Meningkatnya jumlah orang yang lebih memilih hidup sendiri telah mendorong penguatan fenomena hewan peliharaan. Kepemilikan hewan peliharaan tercatat melonjak di Asia, termasuk Singapura.
Dalam 5 tahun terakhir, jumlah hewan peliharaan di China, Singapura, dan Thailand. Masing-masing melonjak 114%, 12%, dan 23%.
Tak hanya hewan, terjadi peningkatan penggunaan aplikasi seperti Chatbot yang digerakkan oleh kecerdasan buatan. Aplikasi ini kian populer dengan jumlah pengguna yang makin meningkat yang mayoritas merupakan lajang.
Selain itu, ada juga robot LOVOT dari perusahaan Jepang yang mampu menjaga suhu tubuhnya seperti manusia dan bisa meminta pelukan. Permintaannya meningkat hingga 15 kali lipat pada 2020 akibat pandemi dan efek dari lonely economy.
Pola konsumsi makanan juga diyakini berubah. Rumah tangga tunggal membutuhkan produk yang berbeda, termasuk makanan yang dikirim ke rumah dan porsi yang lebih kecil untuk makanan kemasan.
Di Jepang, misalnya, pada 2012-2019, berat bersih rata-rata beberapa barang konsumsi yang bergerak cepat menurun sebesar 8%.