Oleh : Dr. Noviardi Ferzi
KEPALA daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota tidak boleh menganggap remeh inflasi, apalagi inflasi di sektor pangan. Hari ini, diprovinsi Jambi kenaikan harga pangan menjadi penyumbang terbesar Inflasi.
Di Provinsi Jambi rata – rata inflasi Juli 2022 lalu mencapai 8,55 persen, tertinggi secara nasional. Untuk, sektor pangan atau volatile food inflasinya di atas rata – rata tadi, yakni mencapai 11,47 persen (yoy), jauh dari batasan terkendali yakni maksimal 6 persen.
Artinya apa? harga pangan di Jambi mahal dan makin sulit dibeli masyarakat.
Besaran Inflasi Jambi jauh melebihi inflasi nasional yang per Juli 2022 sebesar 4,94 persen secara year on year atau melampaui sasaran atas pemerintah 3 persen plus minus 1 persen.
Bahayanya, Inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga pangan memiliki pengaruh yang pasti terhadap garis kemiskinan. Kontribusi harga pangan terhadap kemiskinan itu 74 persen. Begitu harga pangan naik, artinya di sebuah daerah kemiskinan juga akan terkerek ikut naik.
Jika tak diantisipasi, kondisi ini berpotensi meningkatkan jumlah penduduk miskin. Angka kemiskinan akan meningkat jika kenaikan harga pangan terjadi pada komoditas strategis yang umumnya dibutuhkan oleh hampir semua masyarakat.
Inflasi meningkat tentu kemiskinan akan meningkat. Sebaliknya, jika inflasi menurun, maka angka kemiskinan akan berkurang. Hal ini juga didukung oleh teori yang menyatakan bahwa inflasi akan menigkatkan biaya produksi yang menimbulkan kenaikan harga barang dan jasa. Kenaikan harga ini menyebabkan daya beli masyarakat menurun dan berujung pada peningkatan kemiskinan.
Inflasi berbahaya karena bisa menjadi ancaman kesejahteraan masyarakat di provinsi Jambi. Apalagi pada sektor pangan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Jambi saat ini dihadapkan pada krisis harga pangan dan energi akibat geo ekonomi politik global, nasional dan lokal. Tingkat inflasi pangan juga menjadi satu hal yang kritikal.
Sebab, bobot inflasi pangan terhadap pengeluaran rumah tangga di Jambi khususnya menengah ke bawah cukup besar. Sehingga kenaikan inflasi bahan pangan akan menggerus daya beli.
Kenaikan inflasi bahan pangan akan menggerus daya beli dan akhirnya menurunkan kesejahteraan masyarakat di kelas menengah ke bawah, bahkan apabila kita tak tangani dengan baik akan berdampak pada sosial politik dan bahkan keamanan.
Oleh karenanya perlu langkah mitigasi yang baik dari pemerintah dalam mengatasinya.
Pertama, pemerintah perlu memastikan agar harga pangan ini tidak naik lebih menggila.
Hal itu bisa dilakukan dengan memantau ataupun operasi pasar dan memastikan produksi komoditi pangan khususnya pangan strategis mencukupi, setidaknya sampai dengan akhir tahun 2022.
Kedua, bantuan langsung yang diberikan oleh pemerintah. Sebenarnya bantuan yang disalurkan oleh pemerintah saat ini yang salah satunya memberikan subsidi dalam bentuk sembako sudah tepat. Sehingga hal ini dapat menjaga daya beli masyarakat ketika terjadi kenaikan harga pangan.
Namun dalam keadaan seperti sekarang, mereka yang mendapatkan batuan bukan hanya mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan tetapi juga masyarakat yang hidup di sekitar garis kemiskinan.
Oleh karena itu, pemerintah daerah bergerak cepat menggunakan anggarannya untuk redam inflasi. Namun di tengah gempuran inflasi saat ini, kita menyayangkan realisasi APBD masih minim, padahal anggaran itu bisa digunakan untuk mengatasi inflasi di daerah. Sebagai catatan, Sampai Agustus 2022 target serapan anggaran baru mencapai 49 persen.
Masalah inflasi diperparah kenaikan BBM. Dengan kebijakan pemerintah mengurangi subsidi atau menaikan harha bahan bakar minyak perlu mendapatkan perhatian serius demi menjaga stabilitas ketersediaan dan harga bahan pangan.
Kita berharap Pemerintah provinsi melalui Tim Pengendali Inflasi Daerah (TIPD) telah melakukan berbagai langkah antisipatif mengenai lonjakan inflasi. Antara lain menggelar operasi pasar, pemerataan distribusi sejumlah komoditas.
Selain itu perlu upaya sinergitas pengendalian inflasi pada kegiatan ini juga meliputi komitmen perluasan Kerjasama Antar Daerah (KAD) dalam mengamankan pasokan barang pangan.
Lalu, pemerintah perlu mendorong klaster baru hortikultura, pemberian bibit cabai merah dalam rangka mendorong gerakan Urban Farming, serta penyerahan program dedikasi untuk negeri berupa alat digital farming, sarana prasarana usaha alat tangkap nelayan, dan sarana pendukung produksi pertanian guna mendukung pengembangan serta peningkatan kapasitas di sisi hulu.
Termasuk mengendalikan laju inflasi melalui inovasi dan digitalisasi. Salah satunya pengembangan klaster cabai merah dengan sistem integrated farming yang akan menopang kesinambungan produksi lokal ke depan.
Hal itu sesuai dengan arahan pemerintah pusat terkait pengendalian inflasi menjadi agenda prioritas daerah dengan tetap menjaga pemerataan pangan, selanjutnya bantuan subsidi harga, transportasi dan biaya penyusutan diberikan oleh pemerintah. Jika tidak dilakukan, saya khawatir inflasi pangan akan menjadi siklus panjang berulang dan memiskinkan. (Ekonom)