Oleh: Jayanto Arus Adi
Pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya saat resepsi HUT ke 50 lalu menyisakan goresan tersendiri. Meski ungkapan itu tercurah dengan nada seloroh, atau canda, namun mencuatkan kontroversi liar.
“Pak Jokowi iku yo ngono lho mentang-mentang. Lho iya padahal Pak Jokowi kalau nggak ada PDIP juga aduh kasihan dah,” begitulah pernyataan yang disampaikan Megawati saat pidato perayaan HUT ke-50 PDIP di JIExpo, Jakarta, Selasa (10/1/2023) lalu.
Memaknai ungkapan itu sebenarnya biasa biasa saja. Megawati adalah Ketua Umum Partai Banteng mencereng. Mega jualah yang memiliki obligasi besar perjalanan partai trah Soekarno hingga berkembang menjadi ‘The Rulling’ partai, lantaran mampu memenangi Pemilu dua kali berturut turut. Bahkan mencermati trend-nya PDI Perjuangan berpeluang menciptakan hatrcik.
Yang menjadi goresan adalah sosok yang menjadi obyek adalah kader terbaiknya yang notabene adalah Presiden Republik Indonesia, yakni JokoWidodo. Karenanya wajar ketika ada pihak yang menilai Ketua Umum PDI Perjuangan tak sewajarnya mengungkapkan hal semacam itu. Menakar antara manfaat dan mudarat lebih banyak mudaratnya.
Akan lebih elok, dan melegacykan sikap kenegarawanan jika candaan itu tak tertutur dari seorang Megawati.
Putri sang fajar dengan segala plus minusnya adalah ibu bangsa. Menilik sisi ini maka muncul pihak yang menyesalkan ikhwal tersebut. Dan, sikap serupa wajar saja terjadi karena demokrasi memberi ruang sikap yang hetrogen. Artinya ketika muncul reaksi seperti itu semestinya warga banteng perlu juga memaklumi sebagai manifestasi genetik atas nama demokrasi. Ingat PDI Perjuangan adalah representasi partai yang berazaskan nasionalis dengan spirit demokrasi.
Sedikit Meriang
Dua kutub sikap sempat bereskalasi pada muaranya masing masing. Dinamika itu meredup dengan catatan, goresan dan pula beragam warna yang mengemuka mengiringinya dengan argumentasi sendiri sendiri. Pihak yang memandang bijak menilai wajar wajar saja, tidak ada yang salah, keliru atau sumbang atas pernyataan Mega.
Sebaliknya pendukung, loyalis dalam hal ini relawan Jokowi tampak sedikit meriang, meski kini mereda terobati oleh waktu.
Pengamat politik dari Universitas Andalas, Najmuddin Rasul, menilai candaan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, saat ulang tahun ke-50 PDIP beberapa hari lalu tidak etis.
Mestinya sebagai tokoh besar Parpol, Megawati menurut Najmuddin harus pandai memilih pesan-pesan politik walau lewat bercanda. Najmuddin melihat dari keseluruhan momen ultah PDIP, terlihat Megawati ingin dinilai lebih kharismatik dan punya kepemimpinan lebih kuat dari seorang Jokowi.
Nah, catatan ini tidak ingin terjebak pada kotak pro dan kontra. Namun mendalami aspek sosiologis, psikologi di balik peristiwa monumental itu. Secara sosiologis dan psikologis menilik Sigmud Freud, bapak psikologi analisas, ibaratnya permainan catur, Jokowi justru di atas anging, secara sederhana dapat disebut Jokowi menang satu langkah.
Seorang Jokowi sebut sang jelata yang tak berdarah biru, namun portofolio historisnya menghentak dan berjejak. Dia adalah wong cilik yang lahir dari sebuah proses panjang menjadi seorang pemimpin. Memenangi dua kali Pilkada Walikota di episentrum Jawa, yakni Kota Solo adalah legacy tersendiri. Dia telah mendapatkan mandat rakyat karena suara rakyat mendaulat menjadi Walikota.
Kiprah itu berlanjut ketika kemudian menapak menjadi Gubernur DKI. Diusung dan didukung PDI Perjuangan adalah fakta, namun Partai Moncong Putih menunjuk Walikota Solo terjun di Palagan Ibukota tentu tidak luput dari rekam jejak Joko Widodo itu sendiri. Dengan begitu meski menjadi ‘petugas partai’ adalah sebuah keniscayaan lantaran posisi tawar Joko Widodo memang begitu hegemonik.
Bintang Jokowi terus bersinar terbukti dari DKI SATU melejit menjadi orang Nomor Satu Republik ini, yakni Presiden VII. Saat ini kakek dari Jan Ethes bahkan telah memasuki periode kedua. Ini bukan hanya rentang panjang pembuktian atas kiprah dan prestasi, namun menjadi manifestasi sekaligus testomoni secara komprehensif siapa sesungguhnya Joko Widodo. Tersis ini menjawab utuh sebagai argumentasi paling sahih atas ungkapan Sang Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarno Putri.
Ya, banyak jalan menuju Roma. Menjadi ‘petugas partai’ adalah bagian dari metamorfosa perjalanan seorang Joko Widodo menjadi salah satu putra terbaik Indonesia. Di bawah kepemimpinan wong cilik yang sesungguhnya Indonesia memasuki renaisance kedua. Negeri gemah ripah loh jinawi ini sempat terpuruk karena salah menghela strategis. Tri Sakti Bung Karno menjadi sesanti yang dipahami utuh mantan Walikota Solo ini.
Berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian secara budaya merupakan jiwa yang menjadi nafas Kabinet Gotong Royong. Sikap politik dan visi kenegarawanan juga spirit kerakyatan dapat dilihat lebih konkret mencermati jejak kepemimpinnya selama periode dia memimpin.
Bahwa pandangan nyinyir seringkali menghampiri Joko Widodo menilik latar belakangnya karena bukan darah biru, atau tak berkasta dapat dipahami sebagai dinamika peradaban. Namun secara sosialogis, dan psikologis Joko Widodo adalah simbol dari civil society dengan wong cilik menjadi wujud nyata atas eksistensinya. PDI Perjuangan kini menjadi pihak yang perlu terus merawat dan menjaga ‘jiwa ‘ itu terus bersemayam.
Adalah tengara yang tidak elok ketika relasi Joko Widodo dengan PDI Perjungan menjadi berjarak. Adalah sandyakala bagi Partai Moncong Putih andai pemimpin wong cilik ini terantuk hatinya di rumah ideologisnya, PDI Perjuangan dan terpikir untuk hijrah, atau menjadi rahim lahirnya rumah baru, yakni partainya wong cilik.
Meski peluang itu kecil kemungkinannya, namun pria kelahiran 21 Juni 1961 sesungguhnya memiliki akses besar ke sana. Simak bagaimana kiprah dan tapak kepemimpinan yang dibangun Presiden RI VII ini mampu melahirkan kejutan kejutan yang tidak terduga.
Mampu manjing ajur ajer adalah gaya kepemimpinan yang menjadi jurus Jokowi mengarungi medan pengabdian yang begitu terjadl.
Candaan Megawati pada momen resepsi HUT PDI Perjuangan ke-50 lalu sesungguhnya dikandung maksud untuk menjadi katarsis, sekaligus menapis konstelasi politik yang terlihat penuh turbulunsi.
Siapa yang akan menjadi penerima estafet kepemimpinan itu pasca 2024 kini belum sepenuhnya terang. Siapa pula yang menjadi penentu atas lahirnya pemimpin baru mendatang
Sepertinya sang Ketua Umum PDI Perjuangan tengah jenggah meraba dan membaca sikap politik dari kader terbaiknya ini. Pernyataan pernyataan Jokowi meski sebatas isyarat ditafsirkan tidak sejalan dengan sikap Megawati.
Alih alih bermaksud memberikan sebuah pesan atau teguran halus, namun artikulasi yang dilakukan Megawati menjadi sebuah bola salju. Bagaimana bola salju itu menggelinding hanya Jokowi yang tahu.
Idealnya Joko Widodo dan Megawati dapat membangun suasana kebatinan yang lebih mengakar. Satu hal yang mesti harus dimuarakan bersama adalah menjaga ibu pertiwi melahirkan pemimpin tangguh bagi bangsa ini. Siapa pun tidak akan bisa mengingkari dengan segala kekurangan dan kelebihannya Joko Widodo adalah putra peradaban dari republik ini. Dan Megawati adalah pendulum zaman dengan kharisma dan ketokohannya.
King dan Quen Maker adalah dua mata pedang, keduanya harus bersatu. Karena bercerai kita runtuh, bersatu kita teguh.
Drs Jayanto Arus Adi, MM
Adalah Pemimpin Umum RMOL Jateng, Direktur Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Institute, Ahli Pers Dewan Pers, dan Mahasiwa Program S3 Manajemen Kependidikan Universitas Negeri Semarang.
Tulisan merupakan opini dan pendapat pribadi, tidak merelasikan dan mewakili Lembaga Lembaga tersebut.