Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan 11 orang kepala daerah. MK mengubah pasal yang menyatakan jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2020 berakhir tahun 2024.
Putusan perkara nomor 27/PUU-XXII/2024 ini dibacakan dalam sidang di Gedung MK, Rabu (20/3/2024). Sidang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Pemohon dalam perkara ini ialah Gubernur Jambi Al Haris, Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi, Bupati Pesisir Barat Agus Istiqlal, Bupati Malaka Simon Nahak, Bupati Kebumen Arif Sugiyanto, Bupati Malang Sanusi, Bupati Nunukan Asmin Laura, Bupati Rokan Hulu Sukiman, Wali Kota Makassar Ramdhan Pomanto, Wali Kota Bontang Basri Rase, dan Wali Kota Bukit Tinggi Erman Safar.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK menyatakan pasal 201 ayat 7 UU 10/2016 yang berbunyi, “Gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024” bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan dilantiknya gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota oleh KPU hasil pemilihan tahun 2025.’
Mereka juga meminta MK menyatakan Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada yang berbunyi, “Pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.”
Bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum meningkat sepanjang tidak dimaknai ‘pemungutan suara serentak untuk 276 gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang mengakhiri masa jabatan pada tahun 2022 dan 2023 dilaksanakan pada bulan November 2024 dan pemungutan suara serentak untuk 270 gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan Kepala Daerah tahun 2020 dilaksanakan pada Desember 2025’.
Selain itu, pemohon juga meminta MK menyatakan ketentuan di dalam Pasal 201 ayat (9) UU 10 Tahun 2016 untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2023, sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diangkat penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat walikota sampai dengan terpilihnya gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024 bertentangan dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diangkat penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat walikota sampai dengan terpilihnya gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota melalui pemilihan serentak pada Tahun 2024’.
MK pun menyampaikan sejumlah pertimbangan terkait permohonan itu. Salah satunya, MK menyatakan Pilkada harus tetap digelar secara serentak pada November 2024. MK mengatakan hal itu sudah ditegaskan MK dalam putusan terkait UU Pilkada sebelumnya.
Meski demikian, MK menyatakan sebagian dalil pemohon dapat dikabulkan. Norma yang dikabulkan sebagian itu ialah norma pasal 201 ayat (7) UU 10/2016.
Berikut amar putusan MK terhadap gugatan 11 kepala daerah tersebut:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian.
2. Menyatakan Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) yang semula menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan taun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan serentak secara nasional tahun 2024 sepanjang tidak melewati 5 (lima) tahun masa jabatan”.
Sehingga norma pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang selengkapnya menjadi menyatakan “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan serentak secara nasional tahun 2024 sepanjang tidak melewati 5 (lima) tahun masa jabatan”.
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
4. Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya.
Terdapat pendapat berbeda atau dissenting opinion dari satu hakim konstitusi, yaitu Daniel Yusmic P Foekh terhadap putusan ini.
Sumber: detik.com