Oleh : Maskun Sopwan
Dalam kontestasi politik, terutama di tingkat daerah, persaingan antar calon kerap kali menjadi sangat ketat dan penuh dinamika. Namun, ada satu fenomena yang semakin sering muncul dan patut disoroti: praktik menjegal lawan politik sebelum pertandingan dimulai.
Bukannya mengandalkan kekuatan visi, program, dan kemampuan memimpin, sebagian calon kepala daerah justru memilih jalan pintas dengan menjegal lawan-lawan mereka melalui berbagai cara yang meragukan. Apakah ini menunjukkan rasa takut bertarung secara fair di atas pentas demokrasi?
Taktik menjegal lawan ini bisa beragam bentuknya. Dari upaya menggugurkan pencalonan rival dengan memanfaatkan celah-celah hukum, hingga melakukan kampanye hitam yang bertujuan merusak citra dan reputasi lawan.
Seringkali, praktik ini melibatkan manipulasi informasi, penyebaran hoaks, memborong partai, atau bahkan tekanan terhadap penyelenggara pemilu untuk menguntungkan satu pihak tertentu.
Hal ini tentu sangat disayangkan, terutama dalam konteks demokrasi yang sehat. Seharusnya, pemilihan kepala daerah menjadi ajang untuk menampilkan ide-ide brilian dan kebijakan yang inovatif.
Namun, ketika calon-calon tertentu lebih memilih untuk merusak lawan daripada bersaing secara sehat, yang terjadi adalah degradasi kualitas demokrasi itu sendiri.
Alasan Takut Bertarung di atas Pentas
Mengapa sebagian calon merasa perlu untuk menjegal lawan? Salah satu alasannya bisa jadi adalah ketakutan untuk menghadapi persaingan yang sebenarnya. Mereka menyadari bahwa di medan yang setara, mereka mungkin tidak memiliki keunggulan yang cukup untuk memenangkan hati pemilih.
Alih-alih memperbaiki diri dan menawarkan solusi yang lebih baik untuk masyarakat, mereka memilih untuk mengeliminasi kompetitor sebelum pertempuran dimulai.
Ini bukan hanya menunjukkan kelemahan dalam karakter calon tersebut, tetapi juga memberikan sinyal negatif kepada masyarakat tentang kualitas kepemimpinan yang mereka tawarkan.
Jika seorang calon kepala daerah tidak berani bertarung secara terbuka dan adil, bagaimana mereka bisa diharapkan memimpin dengan integritas dan keadilan jika terpilih nanti?
Sebaliknya, pemimpin yang sejati adalah mereka yang siap menghadapi lawan-lawannya di atas panggung demokrasi dengan gagah berani, tanpa rasa takut atau ragu.
Mereka percaya pada kekuatan visi dan program mereka, serta memiliki keyakinan bahwa pemilih akan memberikan dukungan berdasarkan kualitas tersebut, bukan karena ketiadaan pilihan lain akibat praktik-praktik kotor.
Masyarakat pun harus lebih jeli dalam menilai calon-calon yang berkompetisi. Jangan mudah terpengaruh oleh kampanye hitam atau upaya-upaya menjatuhkan lawan.
Pemilih harus mampu melihat mana calon yang benar-benar membawa harapan perubahan dan mana yang hanya berusaha mempertahankan status quo melalui cara-cara tidak etis.
Harapan kita semua adalah agar partai politik yang menjadi peserta Pilkada 2024 bisa berpikir jernih dan sehat dalam mengawal proses demokrasi ini. Partai-partai politik seharusnya menjadi teladan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi yang fair dan berintegritas.
Mereka memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa proses pemilihan kepala daerah berjalan dengan transparan dan adil, tanpa ada intervensi atau upaya-upaya yang merusak esensi demokrasi itu sendiri.
Dalam suasana politik yang semakin memanas, kita berharap agar para partai politik lebih mengutamakan kepentingan rakyat dan menjaga integritas mereka sebagai pilar demokrasi.
Pilkada 2024 harus menjadi momentum di mana rakyat bisa memilih pemimpin terbaik berdasarkan program dan visi yang ditawarkan, bukan karena hasil dari praktik-praktik kotor yang hanya merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Semoga Pilkada 2024 menjadi ajang pembuktian bahwa demokrasi di Indonesia bisa berjalan dengan jujur, adil, dan bermartabat, serta memberikan hasil yang terbaik bagi masa depan bangsa dan negara.