Oleh: RD
Hingga sekarang, raut bahagia masih terpancar jelas dari wajah penulis. Kebahagiaan ini semakin terasa karena penulis telah memegang sertifikat Madya.
Penulis memahami betul tantangan yang dihadapi selama mengikuti rangkaian materi Uji Kompetensi Wartawan (UKW) hingga Penguji dari Lembaga Pers Doktor Soetomo (LPDS) mengumumkan kelayakan dirinya menyandang sertifikat tersebut tiga tahun lalu.
Sesekali, gurauan serta celotehan sesama peserta di kelas ujian memecah suasana, membuat gelak tawa yang seolah mengikis rasa grogi. Kenangan manis tersebut masih terbayang dalam benaknya.
UKW digelar atas prakarsa Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), dan Forum Jurnalis Migas (FJM) Jambi, dari berbagai jenjang, yaitu muda, madya, dan utama, diadakan di tengah situasi pandemi Covid-19.
Para peserta UKW, termasuk panitia dan penguji, wajib melakukan rapid test swab antigen sebelum memasuki ruang ujian.
Awalnya, penulis tidak berniat untuk melanjutkan ke jenjang Madya. Namun, dorongan dari teman-teman sejawat agar mengikuti kesempatan tersebut terus menguat.
Pasalnya, standarisasi pengelolaan media menurut aturan Dewan Pers mewajibkan Redaktur untuk memiliki sertifikasi UKW kategori Madya
Penulis pun menuruti dorongan tersebut meskipun sempat merasa ragu untuk meninggalkan orang-orang tercintanya selama beberapa hari demi berangkat ke Kota Jambi. Semangatnya membara kembali setelah mendapatkan dukungan dari keluarga besarnya.
“Akhirnya saya memantapkan diri mengikuti kesempatan itu, meskipun sebenarnya hati ini sempat berkecamuk, khawatir tidak lulus, ini LPDS,” cerita penulis.
Menurutnya, jika dipikirkan, semua materi UKW tidaklah sulit. Materi yang disodorkan adalah rutinitas yang dijalani selama peliputan.
Namun, perlu diingat bahwa fakta di kelas ujian terkadang berbanding terbalik. Sungguh, bukan materi yang mudah untuk diselesaikan dengan cepat.
Apalagi ketika mengerjakan di bawah tekanan waktu dan konsentrasi. Mental dan keterampilan benar-benar diuji. Penulis memerlukan waktu seminggu untuk persiapan khusus menghadapi ujian ini.
“Kita diberi perlindungan hukum. LPDS memiliki lembaga bantuan hukum (LBH) tersendiri bagi para alumninya. Jika terjadi persoalan hukum terkait pemberitaan, LPDS akan membantu secara cuma-cuma,” jelasnya.
Sekarang, penulis terus mengedukasi jurnalis lain yang belum mengikuti UKW untuk segera mendaftar. Ia menegaskan bahwa memiliki kartu UKW adalah suatu keharusan.
Selain sebagai bukti kompetensi di bidang jurnalistik, kartu tersebut juga dapat berfungsi sebagai penyaring untuk mengetahui apakah seseorang benar-benar jurnalis atau hanya sekedar untul-untul.
Sebagai contoh, berita hukum atau asusila sering menjadi topik hangat di sejumlah media massa. Beragam sudut pandang dihadirkan untuk menarik perhatian pembaca. Sayangnya, pemberitaan tersebut tidak sepenuhnya memperhatikan aspek-aspek jurnalistik, termasuk perlindungan identitas dan ciri korban.
Menurut Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Provinsi Jambi, Doddi Irawan, jurnalis harus menguasai kode etik dan melindungi masyarakat dari penyebaran hoaks.
Mereka yang bekerja secara otodidak tanpa UKW memiliki risiko tinggi menghadapi masalah berkaitan dengan kode etik jurnalistik serta prinsip-prinsip yang diatur dalam Undang-undang Pers.
“Komplain datang dari pembaca, narasumber, dan kami bisa dipanggil Dewan Pers jika berita yang disampaikan menimbulkan sengketa. Disinilah pentingnya peningkatan kompetensi bagi wartawan,” ujar Doddi Irawan.
UKW di atas adalah salah satu bukti nyata keberhasilan sinergi SKK Migas-KKKS dan jurnalis di wilayah Jambi.
SKK Migas dan KKKS sangat menjaga komitmen tersebut demi meningkatkan kualitas jurnalis, terutama dalam menjaga demokrasi dan kepentingan publik.
Hal ini sangat penting dalam mendukung kepercayaan publik terhadap target produksi yang telah ditetapkan oleh Presiden RI yaitu satu juta barel minyak dan 12 miliar kaki kubik gas per hari pada tahun 2030.
Ketua Forum Jurnalis Migas (FJM) Jambi, Mursyid Sonsang, menyebutkan bahwa tidak hanya publik, tetapi investor di sektor migas juga membutuhkan informasi yang handal dan terverifikasi melalui kerja jurnalis yang profesional serta independen.
Karena begitu signifikannya target produksi pada tahun 2030 mendatang, investasi yang dibutuhkan pun tidak sedikit. Untuk mencapai target tersebut, sangat diperlukan pengungkit untuk meningkatkan investasi, meskipun beberapa kebijakan telah dilakukan, termasuk kemudahan proses perizinan melalui kebijakan one door service.
“Untuk mengejar satu juta barel dan 12 miliar kaki kubik gas per hari pada tahun 2030, diperlukan investasi. Salah satu syarat agar investor mau berinvestasi adalah keamanan dan kenyamanan,” ujar kawan lama Dirut Pertamina Komjen Pol Purn Mochamad Iriawan, di Lemhanas PPSA 2012 itu.
Di mana arus informasi mengalir begitu deras, banyak masyarakat aktif menyebarkan informasi, termasuk melalui media sosial.
Menurutnya, ini adalah tantangan terberat yang harus dihadapi jurnalis dalam melawan penyebaran informasi bohong alias hoaks. Hoaks yang dibiarkan bisa memprovokasi.
Tidak hanya merusak pikiran, hoaks juga berpotensi merusak tatanan negara dan sistem sosial di dalamnya. Oleh karena itu, tantangan ini harus segera ditangani dengan memberikan edukasi yang berkelanjutan.
“Disinilah peran jurnalis dibutuhkan sebagai penyejuk, yang menyajikan pemberitaan yang benar, sesuai fakta, dan berimbang. Jika hoaks tentang sektor migas menyebar, hal ini justru dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan investor untuk berinvestasi. Dengan demikian, mereka akan ragu untuk datang,” ungkap Mursyid.
Mursyid, yang juga mantan Ketua PWI selama dua periode, menambahkan bahwa serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh SKK Migas-KKKS-FJM telah meningkatkan pengetahuan jurnalis, dari yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu, sehingga berita yang ditulis menjadi lebih akurat.
“Di FJM, kami diuji tentang seluk-beluk peliputan di bidang minyak dan gas, termasuk segala teknologinya. Kami mempelajari apa itu proses eksplorasi, produksi, serta peranan sektor ini dalam menyediakan energi di masa kini dan mendatang,” ucap Mursyid, yang juga bapak dari Kanit Tipidter Polres Bengkalis Ipda Fachri Muhammad Mursyid.
FJM dibentuk pada tahun 2014, terdiri dari puluhan jurnalis dari berbagai media massa dan organisasi pers, yang memiliki badan hukum, alamat redaksi jelas, dan dapat dipertanggungjawabkan.
“FJM bukan untuk membackup kegiatan SKK Migas maupun KKKS. Kami bermitra dalam sinergitas yang bertanggung jawab. Kami memberitakan apa adanya. Ketika ada kejadian yang merugikan masyarakat, kami akan memberitakannya, selama sesuai fakta, serta melalui verifikasi dan konfirmasi,” jelas Mursyid.
Suami dari Dr. Asnelly Ridha Daulay ini memahami betul bahwa industri hulu migas memberikan kontribusi besar bagi negara dan memiliki peranan penting dalam pembangunan daerah melalui dana bagi hasil.
Setiap kegiatan industri hulu migas selalu menimbulkan efek multiplikasi bagi masyarakat sekitar dan turut membangun perekonomian warga.
Efek multiplikasi yang dimaksud Mursyid adalah tanggung jawab sosial KKKS di wilayah kerjanya. Di antaranya adalah meningkatkan potensi perusahaan kecil lokal melalui program kemitraan, pembukaan lapangan kerja, serta peluang usaha dengan melakukan pembinaan seperti pelatihan, dan lainnya.
“Setiap kegiatan positif yang dilakukan untuk masyarakat juga harus diberitakan,” pungkasnya.