Muarojambi, AP – Desa Manis Mato, Taman Rajo, Kabupaten Muarojambi menjadi desa terisolir bahkan mirisnya lagi fasilitas pendidikan di daerah tersebut sangat memprihatinkan, butuh waktu 6 jam perjalanan untuk menuju desa tersebut, melalui jalan darat dan air.
Fasilitas dan kondisi pendidikan yang ada di SD 14 tersebut hanya memiliki 6 gedung, layak pakai 3 kelas, sedangkan sisanya, sudah rusak bagian atap dan plafonnya, SD tersebut hanya memiliki 2 PNS, dan 3 guru Hononer, 2 PNS yang bertugas salah satunya merangkap sebagai PLT Kepala Sekolah, yakni Nurkholis.
“Kalau hujan, siswa harus belajar di bawah rintikan air karena atapnya yang tak mampu menahan air yang menetes. Belum lagi kalau banjir pak, sampe 2 meter, kalau hujan juga becek, sampe ke dalam kelas,” cerita Nurkholis.
SD tempatnya mengabdi sejak 2010 tersebut juga sangat minim fasilitas. Jangankan perpustakaan, MCK pun tidak ada. Sehingga para siswanya untuk buang air besar dan kecil harus ke pinggir Sungai Batanghari.
Menanggapi hal ini, Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Muarojambi, Ulil Amri, mengatakan, masih kurangnya fasilitas belajar dan mengajar di Kabupaten Muarojambi dikarenakan anggaran yang ada di pemerintah sangat terbatas.
“Ruang ruang belajar dan mobiler memang kita masih kurang, ya memang keterbatasan anggaran jadi harus bergilir,” ujarnya. Selain ruang belajar, Ulil juga mengatakan Muarojambi masih kekuarangan tenaga pengajar. Jumlah sekolah SD, SMP, PAUD di Muarojambi sebenarnya suduh cukup, namun tenaga pengajarnya yang kurang.
“Kita masih kurang 300 guru tenaga pendidik. Solusinya ya honor lah, lebih baik jika ada Perda dari Pemkab untuk mengatur itu,” tutupnya.
Disisilain, akses jalan menuju Desa Manis Mato sangat sulit untuk dilalui. Desa Manis Mato kondisinya masih terisolir karena hampir tak tersentuh kebijakan pemerintah.
Untuk mencapai desa yang berada di ujung Kabupaten Muarojambi tersebut, masyarakat harus melewati Sungai Batanghari. Setidaknya perlu waktu enam jam lebih pulang pergi.
Kondisi ini diceritakan Dirman, Warga Kumpeh yang mengaku memiliki keluarga di desa tersebut. Dikatakannya, bukan hanya akses jalan, listrik pun belum menyetuh desa tersebut.
Jika ingin mengunjungi keluarganya, dia biasanya naik motor melintasi Kota Jambi, melawati dua kecamatan Kumpeh dan Kumpeh Ilir.
“Nanti naik ketek mas, bisa dari Desa Tanjung atau dari Suak Kandis. Itu bayar Rp 20-30 Ribuan,” akunya. Untuk ke lokasi, ia harus berangkat subuh. Karena jika kesiangan, akan sulit untuk pulang kembali ke Jambi.
“Ketek di sana paling ada lewat sebatas jam 6 sore mas, jika melebihi jam itu tidak ada lagi ketek yang lewat, paling pagi-pagi besoknya baru ada lagi,” terangnya. bds