Jakarta, AP – Media-media arus utama dari barat menilai tolerasi Indonesia menghadapi ujian berat seperti yang tercermin dalam pemilihan umum gubernur Jakarta pada Rabu lalu.
Surat kabar terbesar Amerika Serikat, The New York Times, menulis dalam paragraf pertama berita kekalahan calon petahana, Basuki Tjahaja Purnama, bahwa sang “gubernur Kristen Jakarta” kalah dalam pemilu yang “dinilai sebagai ujian bagi toleransi relijius dan etnis di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.” Sejumlah hasil hitung cepat dari lembaga survei memang menunjukkan bahwa gubernur Basuki, atau akrab disebut sebagai Ahok, kalah telak dalam pemungutan suara putaran kedua melawan Anies Baswedan, mantan menteri pendidikan kabinet kerja Presiden Joko Widodo.
Menurut The New York Times, persoalan kota yang krusial seperti pendidikan, transportasi, dan banjir, menjadi terabaikan dalam masa kampanye yang penuh dengan isu agama–terutama oleh sentimen anti-Kristen dan anti-keturunan Tionghoa.
“Beberapa masjid bahkan memasang spanduk yang melarang pengurusan jenazah pendukung Ahok,” tulis The New York Times.
Stasiun televisi CNBC bahkan berkesimpulan lebih jauh dengan menulis bahwa kekalahan Ahok akan memperlambat perbaikan infrastruktur di Jakarta, terutama kurangnya jangkauan air pipa dan pembangunan transportasi publik baru.
CNBC juga berkesimpulan bahwa kekalahan Ahok, yang dinilai berhasil memperbaiki birokrasi kota Jakarta, disebabkan oleh tudingan pelecehan agama yang sempat memicu ratusan ribu orang berunjuk rasa.
Sementara itu kabar dari Inggris, The Guardian dan Financial Times juga menulis dengan nada yang sama, bahwa identitas minoritas ganda yang disandang Ahok membuat dia tidak mungkin menjadi presiden.
Namun demikian, pada Februari lalu koran asal Australia, The Sydney Morning Herald (SMH) memuat laporan terkait sentimen anti-Ahok yang sama sekali tidak menyinggung persoalan agama maupun etnis.
SMH menulis bahwa kebijakan Ahok menggusur paksa, tanpa pemberitahuan, membuat warga Kampung Akuarium memilih mendukung Anies yang berjanji untuk tidak melakukan hal serupa.
Sejak digusur, warga Akuarium yang mayoritas adalah nelayan tersebut masih bertahan di tenda darurat di atas reruntuhan rumah mereka yang telah diratakan dengan tanah.
Mereka tidak bisa pindah ke tempat lain karena terlalu jauh dari laut sehingga mereka terancam kehilangan pekerjaan.
“Sebanyak 90 persen warga kampung sini memilih mereka (Jokowi dan Ahok saat mencalonkan diri menjadi gubernur tahun 2012). Tidak masalah Ahok Kristen dan China, kami tidak pernah mempermasalahkan ini,” kata seorang warga Kampung Akuarium yang diwawancara SMH. Dharma Diani.
Selain warga Kampung Akuarium, banyak warga Jakarta bernasib serupa di Kampung Pulo, Bukit Duri, maupun Kalijodho.
Dalam penelitian Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, selama dua tahun masa kepemimpinannya–yang melanjutkan estafet dari Joko Widodo yang menjadi presiden sejak 2014, Ahok telah menggusur 13.871 hunian keluarga dan 11.655 unit usaha.
Persoalan sosial akibat kebijakan penggusuran inilah yang nampaknya diabaikan dalam laporan media Barat mengenai pemilihan umum di Jakarta. ant