Anggota Dewan Pers, Ratna Komala, mengatakan, munculnya berita-berita tidak benar (hoax) di Indonesia, salah satunya karena publik kurang percaya kepada netralitas dan kebenaran isi media mengingat banyak pemilik media yang berpolitik.
“Sejarah maraknya berita ‘hoax’ di Indonesia, karena banyaknya berita ‘gorengan’ menjelang Pileg dan Pilpres 2014. Pemilik media membuat parpol dan menggunakan medianya untuk kampanye,” katanya, dalam diskusi publik “Lawan Hoax dengan Keterbukaan Informasi”, di Wisma Antara, Jakarta, Senin (22/05).
Ratna menambahkan,”banyak wartawan menjadi caleg, sehingga publik mencari informasi dari media lain yang dianggap ‘benar’, namun terjebak dalam berita ‘hoax’,”.
Ia mengatakan saat ini media mainstream berhadapan dengan produk ‘hoax’ luar biasa, sehingga tingkat kepercayaan pubilk terhadap media mainstream sedikit terganggu.
“Banyak beredar informasi yang tidak benar, dipelintir dan informasi palsu di media sosial. Bahkan, kita pun sempat terkecoh dengan informasi yang disebar di media sosial. Media sosial sudah beralih fungsi sebagai penyebar berita ‘hoax’,” kata Ratna.
Era digital dengan kemajuan teknologi, produk ‘hoax’ sangat sulit diverifikasi, mereka sangat luar biasa terorganisir. Oleh karena, dirinya meminta kepada publik agar lebih hati-hati dan melakukan verifikasi setiap kali mendapatkan informasi yang sengaja disebar di media sosial.
Tak hanya publik yang terjebak dalam informasi ‘hoax’, namun ada media mainstream, yakni salah satu media televisi swasta yang memberitakan informasi ‘hoax’, dimana terjadi bom di Slipi, Kuningan dan Cikini, setelah aksi bom terjadi di Sarinah, Jakarta Pusat pada 14 Januari 2016.
“Wartawan saat ini lebih memilih jalan yang paling mudah untuk menulis, menemukan berita sekaligus memverifikasi sebuah fakta hanya denga mengandalkan sumber media sosial. Padahal, tindakan ini tidak benar,” tegasnya.
Ratna menjelaskan perbedaan produk pers dengan media sosial. Produksi pers berisi berita tentang fakta, dibuat oleh wartawan dan disiarkan perusahaan media berbadan hukum yang memiliki batasan sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) serta jelas Penanggung Jawab dan alamat redaksinya.
Sementara produk media sosial berisi informasi yang siapa saja bisa memproduksinya tidak akurat berisi fakta dan opini, cara kerjanya individual, tidak ada batasan, tidak ada yang bertanggung jawab, identitas bisa dipalsukan dan pengelola bebas memanfaatkan kemudahan teknologi.
“Cara membedakannya mudah saja, kalau tidak ada 5 W (what, who, when, where, why) + 1 H (how), maka patut dicurigai kebenaran informasinya,” katanya.
Ratna menambahkan, masyarakat saat ini sudah mulai gerah dengan penyebaran ‘hoax’, sehingga masyarakat membuat gerakan anti ‘hoax’. Dewan pers pun mendukung gerakan itu.
Komisioner KIP Abdulhamid Dipopramono, mengatakan, hoax merupakan informasi yang tidak akurat, tidak benar dan bisa menyesatkan.
“Sudah pasti informasi seperti ini juga tidak lewat verifikasi yang benar,” katanya.
Abdulhamid mengatakan berdasarkan pengaduan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), pada Januari 2017 terdapat 5070 berita hoax, Februari (658), Maret (111) dan April 25 berita hoax.
Meski terjadi penurunan, namun berita-berita hoax di media sosial masih sulit dibendung. Sehingga, peranan PPID mengatasi persoalan itu sangat penting.
Masyarakat juga diminta untuk memilah-milah dan memverifikasi berita-berita hoax yang tersebar di media sosial agar tidak tersesat dengan berita yang tidak benar.
Penyebaran ‘hoax’, tambah dia, sudah sangat memprihatinkan, tidak hanya di Indonesia, melainkan di seluruh dunia.
“Bahkan, Pers menjadi korba berita-berita ‘hoax’. Publik percaya informasi tanpa melakuka verifikasi. Ini juga mempengaruhi media mainstream,” tuturnya. ant