Jambi, AP – Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mencatat, dalam kurun waktu delapan tahun (2009-2016) sebanyak 18 ekor Harimau Sumatera (panthera tigris sumatrae) mati akibat dijerat dan ditangkap pemburu liar.
“Dalam kurun waktu tersebut terdapat konflik manusia dan satwa, yang mencolok adalah konflik harimau dan manusia, yang mana dari konflik itu terdapat 14 orang menjadi korban, dan 18 harimau mati dijerat dan tangkap pemburu,” kata Anggota Dewan Pengawas KKI Warsi Sukri Sa’ad, Jumat (28/07) lalu.
Akibat menyusutnya kawasan hutan di Sumatera secara signifikan itu memberi dampak terhadap keberlangsungan satwa yang dilindungi, diantaranya untuk Harimau Sumatera dan Gajah Sumatera (Elephas maximus) sebagai habibat asli hutan di Sumatera.
Dan dalam kurun waktu tersebut juga, Warsi mencatat terdapat tujuh ekor gajah mati karena dibunuh dan dua orang meninggal karena berkonflik dengan satwa besar ini.
“Kejadian-kejadian seperti ini memberi peringatan kepada kita bahwa ada ketimpangan yang terjadi di alam, sehingga perlu adanya upaya segera untuk melakukan pemulihan dan penanganan yang cepat untuk mengantisipasi dampak yang lebih luas,” katanya.
Untuk mengantisipasi kondisi itu, Warsi melakukan berbagai upaya yang seharunya bisa direplikasi dan didukung para pihak untuk adanya keseimbangan eksositem dan meminimalkan dampak yang timbul akibat laju menyusutnya kawasan hutan di Sumatera.
Dalam kurun waktu 25 tahun, Pulau Sumatera kehilangan tutupan hutan mencapai sembilan juta hektare. Pada tahun 1990 tutupa hutan di Sumatera masih 20 juta hektare, namun pada catatan terakhir 2015 kawasan hutan di Sumatera hanya tersisa 11 juta hektare atau 44 persen.
Berdasarkan analisis Citra Satelit Lansat TM 8 yang dilakukan Warsi, pada 2015 lahan kritis atau areal terbuka meningkat 556 persen, peningkatan perkebunan kelapa sawit sebesar 141 persen dan peningkatan Hutan Tanaman Industri (HTI) 381 persen.
Selain berdampak pada konflik manusia dan satwa, dampak lainnya yang dirasakan saat ini kata Sukri, yang muncul adanya kerusakan ekologi dan hilangnya plasma nutfah dan cadangan biodversity penting. Kondisi ini menurutnya, memicu bencana ekologis dan perubahan iklim, dan dalam kurun waktu 2010-2016 tercatat korban meninggal akibat bencana banjir dan longsor mencapai 46 orang, dan akibat bencana penambangan ilegal tercatat 55 orang.
“Berkurangnya kawasan hutan juga menyebabkan kurangnya sumber pangan dan ketersediaan air besih, dampak tersebut yang paling dirasakan oleh kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan,” kata Sukri menambahkan. ant