Jambi, AP – Konflik lahan yang terjadi di Provinsi Jambi memang masih menjadi persoalan yang belum bisa terselesaikan, terutama konflik lahan di sector perkebunan kelapa sawit.
Dalam catatan akhir tahun Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) bahwa 61 persen konflik lahan di Provinsi Jambi terdapat di sektor perkebunan kelapa sawit, sementara 39 persen konflik lahan terjadi di sector Hutan Tanaman Industri (HTI).
Menurut catatan Walhi Jambi dalam setahun terakhir, aktivitas perkebunan kelapa sawit juga masih menjadi penyumbang terbesar kerusakan lingkungan atau kerusakan sistem ekologis di Jambi.
Hal ini semakin diperparah dengan maraknya keberadaan perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tidak mengantongi izin yang jelas, sehingga menciptakan konflik antara perusahaan dengan masyarakat.
Tidak hanya temuan-temuan Walhi Jambi di lapangan, akses masyarakat terhadap lahan tanaman pangan semakin sempit akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit, yang seharusnya lahan tersebut untuk lahan persawahan agar bisa mengatasi ketergantungan terhadap pangan impor, di lapangan dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.
“Salah satu agenda yang paling besar yang diimplementasikan melalui program nasional yaitu program cetak sawah. Berdasarkan catatan, kita melihat bahwa sawit masih dijadikan tanaman yang primadona di Provinsi Jambi. Kita cenderung melihat beberapa program nasional dijadikan ajang mempercepat ekspansi,” ungkap Rudi, saat press lease, Rabu (28/12/2017).
Oleh karena itu Walhi Jambi berpandangan bahwa akar dari persoalan kerusakan lingkungan dalam berbagai sektor yang terjadi di Provinsi Jambi, adalah kegagalan pemahaman pemerintah dalam mengimplementasikan program-program nasional.
Dalam beberapa catatan Walhi Jambi juga, program pembangunan yang sebenarnya skema dari proses eksploitasi telah merusak sistem ekologis, seperti salah satu contoh pembangunan perumahan banyak berdampak terhadap banjir.
“Kerusakan sistem ekologis ini lah bentuk dari kegagalan pemerintah dalam memahami pengimplementasian program-program nasional,” ujar Rudi.
Ia juga tidak segan-segan menyebutkan, bahwa hampir seluruh bank di Provinsi Jambi baik yang berbentuk syariah maupun bank konvensional telah ikut berkontribusi dalam mendukung kerusakan ekologis di Jambi. Karena, bank-bank ini lah yang memberikan dukungan pendanaan terhadap aktivitas-aktivitas pengelolaan lahan yang merusak lingkungan, salah satunya di sector perkebunan kelapa sawit.
Kerusakan sistem ekologis atau kerusakan lingkungan di Provinsi Jambi tidak hanya disebabkan oleh sector perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri saja. Kerusakan juga banyak disebabkan oleh aktivitas-aktivitas pertambangan illegal yang ada di wilayah hulu Jambi, yang mana aktivitas pertambangan illegal tersebut telah masuk wilayah hulu sungai dan masuk ke badan sungai.
Terkait restorasi gambut Rudi juga menyebutkan, program-program yang dibuat oleh pemerintah diyakinkan belum bisa mengatasi kebakaran hutan dan lahan di wilayah gambu. Sebab, bagaimana tidak kegiatan restorasi dilakukan di wilayah-wilayah yang terlah dikelola oleh masyarakat yang tentunya menggunakan cara-cara mereka sendiri dalam mengelola lahan gambut, seperti kearifan local daerah setempat.
“Kita beruntung dalam beberapa bulan ini intensitas hujan masih stabil. Kalau tidak kita akan merasakan lagi kerusakan ekologis seperti tahun 2015 lalu, yaitu kabut asap,” papar Rudi.
“Dari catatan kita melihat tidak ada satu pun lahan yang disiapkan untuk menyelamatkan kerusakan lingkungan (di Jambi),” pungkasnya.
Dalam kesempatan itu Walhi Jambi juga menegaskan, bahwa pemerintah harus segera menindak secara hukum perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan di Jambi, apa lagi perusahaan yang tidak memiliki izin, kata Rudi, pemerintah seharusnya bisa menghentikan aktivitas perusahaan tersebut. Karena, menurutnya, hingga saat ini tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah khususnya Pemerintah Provinsi Jambi terhadap perusahaan-perusahaan perusak lingkungan masih sangat lemah. (Bdh)