Kualatungkal, AP – Pemerintah Kabupaten Tanjabbar harus cepat bertindak, dan mencarikan win-win solution atas konflik kotalu. Jangan sampai terjadi pertumpahan darah antar masyarakat yang bermukim di areal 4.200 ha dengan pihak koperasi. Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPRD Tanjabbar Heri Juanda, Selasa (09/01).
Menurut Heri, konflik kotalu cukup rumit. Meski secara legalitas, lahan tersebut diperuntukkan kepada Kotalu, namun penguasaan fisik sudah dilakukan masyarakat dari lima desa, termasuk warga pendatang.
Parahnya lagi, lanjut Heri, di pihak Kotalu sudah ada yang menjual Kartu Tanda Anggota ke pihak lain. Begitu juga di pihak masyarakat yang menggarap lahan, sudah ada yang memperjualbelikan sebagian lahan ini ke pihak lain.
“Jadi, dua pihak ini ada yang sudah menjual ke oknum pejabat maupun swasta. Harus ada solusi, masyarakat juga harus tahu bahwa lahan itu izinnya untuk Kotalu. Dan Kotalu harus menghargai masyarakat yang bersusah payah berkebun dan membangun rumah di lokasi,” kata Heri.
Jika masalah ini berlarut, Heri khawatir akan terjadi gesekan. “Harus cepatlah, duduk bersama, cari solusi yang terbaik,” timpal Heri.
Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan, Ir Melam Bangun, tidak mengetahui secara persis konflik ini. Setahu dia, lahan tersebut sempat dicadangkan untuk dilepaskan dari HP menjadi APL.
“Coba tanya ke Asisten II atau Asisten I. Dulu itu memang Kawasan hutan. Sebelum itu ada pelepasan kawasan, sudah ada masyarakat yang garap, ” tutur Melam.
Keterangan yang dihimpun, sebelum ada pelepasan kawasan hutan dari Hutan Produksi dan Eks HPH ke Areal Pengguna Lainnya pada 2012 (2.400 ha) dan 2017 (1.800 ha), lahan ini merupakan pemberian dari PT DAS kepada Koperasi Tani Sawit Tungkal Ulu (konflik lahan 1998). Lahan ini merupakan kawasan HP KUD MARLANG dan Eks HPH PT Loka Rahayu dan eks HPH PT Sadar Nila.
Lahan ini pun diperuntukkan untuk anggota koperasi (Kotalu) yang beranggotakan warga Sungai Rotan (348 KK) dan Desa Lubuk Kambing (720 KK).
Berjalannya waktu, lepas dari kemitraan PT DAS, lahan ini tidak dikelola KOTALU dan akhirnya digarap masyarakat lima desa di Renah Mendaluh, yang totalnya ribuan jiwa. (It)